Halaman

Jumat, 14 Mei 2021

Kebijakan Politik Para Penguasa Indonesia

KOMPARASI KEBIJAKAN POLITIK PENGUASA-PENGUASA INDONESIA


Latar Belakang Masalah

Presiden secara umum merupakan istilah untuk seseorang yang memiliki kekuasaan eksekutif. Terutama dipergunakan untuk kepala negara suatu republik, baik dipilih secara langsung melalui pemilu, ataupun tak langsung. Presiden adalah pimpinan pelaksana perundang-undangan dalam sebuah negara Republik.

Indonesia selain berbentuk Republik, juga merupakan sebuah Negara Kesatuan. Negara Kesatuan adalah negara berdaulat yang dipimpin sebagai satu kesatuan tunggal. Pemerintahan pusat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan berkewajiban menjalankan kekuasaan-kekuasaan serta kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan serta dipilih oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh masing-masing kepala daerah dalam satu Negara Kesatuan. Presiden di dalam Negara Republik mempunyai tugas dan jabatan, juga berkewajiban menjalankan kekuasaan dan kebijakan yang telah ditetapkan.

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.

Sudah sekian kali Indonesia berganti presiden yang tentunya membuat kebijakan-kebijakannya seiring dengan perkembangan dan kondisi masing-masing penguasa di Indonesia. Berikut ini kita akan melihat dan membandingkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan beberapa penguasa di Indonesia. Kemudian kita dapat menyimpulkan dari perbandingan kebijakan yang diterapkan penguasa-penguasa di Indonesia.


II. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid

Pemberhentian Kapolri Roesmanhadi

Pemberhentian Kapolri jenderal (Pol) Roesmanhadi yang dinilai tidak mampu mengantisipasi terjadinya pembakaran Sekolah Kristen STT Doulus.

Pemberhentian Kasuspen Hankam

Pemberhentian Kasuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatarbelakangi oleh pernyataannya bahwa presiden bukan panglima tinggi TNI. Ia digantikan oleh Marsekal Muda TNI Graito dari TNI AU. Hal ini cukup mengagetkan, karena selama 32 tahun terakhir kalangan dari TNI AU tidak pernah menduduki jabatan strategis dalam jajaran TNI.

Pemberhentian Wiranto sebagai Menko Polkam

Pemberhentian Wiranto sebagai menko polkam yang dilatarbelakangi oleh hubungan tidak harmonis antara Wiranto dan Gusdur. Ketidakharmonisan ini muncul ketika presiden mengizinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM untuk menyelidiki para jenderal, termasuk Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Atas tindakan presiden tersebut, muncul pernyataan dari Pangkostrad Letjen TNI Djaja Suparman yang mengatakan “jika para jenderal diseret ke pengadilan, para prajurit akan marah”. Pernyataan ini dinilai oleh beberapa kalangan bahwa TNI sedang menyiapkan kudeta. Anggapan ini dibantah keras oleh Pangdam Wirabuana Mayjen TNI Agus Wirahadikusuma yang mengatakan TNI bukan hulubalang penguasa atau jenderal yang berkuasa. Isu ini juga dibantah oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Ryamizard Riyacudu yang mengatakan “Tidak ada budaya tentara melakukan kudeta terhadap pemerintah, tidak ada kudeta.” Isu ini kudeta terus bergulir, bahkan pertemuan tertutup Menko Polkam Wiranto dengan para jenderal di Mabes TNI Cilangkap pada tanggal 2 Pebruari 2000 dianggap sebagai persiapan kudeta. Atas kejadian tersebut, sejumlah anggota DPR RI yang tergabung dalam Kaukus Politikus Muda mendesak Menko Polkam Jenderal TNI Wiranto agar segera mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka yang tergabung dalam Kaukus Politikus Muda adalah : Muhaimin Iskandar (PKB), Ali Masykur Musa (PKB), Bara Hasibuan (PAN), dan Heri Akhmadi (PDI Perjuangan). Akhirnya pada tanggal 13 Pebruari 2000 presiden mengeluarkan perintah untuk menonaktifkan Wiranto dari jabatan Menko Polkam.

Pengumuman Menteri Kabinet Persatuan Nasional

Mengeluarkan pengumuman tentang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Beberapa menteri merasa sulit melakukan koordinasi dengan menteri lainnya dalam menghadapi tudingan KKN tersebut.

Penggantian Irian Jaya Menjadi Papua

Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Presiden bahkan menyetujui pula pengibaran Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua.

Atas kebijakan yang menguntungkan ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Fluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua pada bulan Mei – Juni tahun 2000. Selain itu, Dewan Presidium Papua menetapkan tanggal 1 Desember (tanggal berakhirnya pendudukan Belanda pada tahun 1962) menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.

Sekilas Pro dan Kontra

Selain penilaian bahwa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid kontroversional, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan presiden kerap dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan presiden berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.

 suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, muncul kasus Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap presiden semakin menurun drastis. Ketua MPR Amien Rais yang sebelumnya mendukung Abdurrahman Wahid, mulai berbalik arah.

Mungkin timbul pertanyaan : “Apa itu kasus Brunegate?” Silahkan anda browsing, banyak sekali yang membahasnya.

Skandal Bruneigate dan pengangkatan Wakil Kepala Polri Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan Kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I untuk presiden pada tanggal 1 Pebruari 2001, yang disusul dengan Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) memang terkenal dengan sikapnya yang kontroversional. Hal ini dapat dilihat ketika presiden bukan datang memberi laporan pertanggungjawaban. Dalam hal ini, presiden justru malah mengeluarkan maklumat. Salah satu isi maklumat tersebut yaitu membekukan lembaga MPR dan DPR.

Adapun isi maklumat atau dekrit tersebut silahkan baca di artikel sejarah Indonesia: Dekrit Presiden Gusdur yang Kontroversial.






III. Kebijakan Presiden Joko Widodo

1. Tarif Iuran BPJS Naik

Presiden Jokowi menyetujui kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Alasan iuran BPJS naik untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan. Maka perlu disesuaikan beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang BPJS Kesehatan. Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah menjadi sebesar Rp42.000 per bulan dari sebelumnya Rp25.500.

Dalam Pasal 34 disebutkan bahwa iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) meningkat menjadi Rp42.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp25.500 untuk ruang perawatan kelas III. Iuran peserta kelas II juga naik menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000. Sedangkan, untuk kelas I menjadi Rp160.000 dari sebelumnya Rp80.000. 

2. Program Kartu Pra Kerja

Pada kampanye Pemilu Presiden 2019, Jokowi kembali memamerkan program kartu sakti kepada masyarakat, di antaranya Kartu Indonesia Pintar sampai Kuliah (KIP Kuliah), Kartu Sembako Murah dan Kartu Pra Kerja. Khusus Kartu Pra Kerja, Jokowi mengatakan bahwa kartu ini tidak langsung didapatkan masyarakat yang baru lulus jenjang pendidikan karena harus sesuaikan dengan APBN yang diukur tiap tahunnya.


Prabowo Subianto sebagai rival Jokowi saat Pemilu Presiden 2019 pun menyindir program kartu sakti tersebut. Menurut dia, dalam kondisi keuangan Indonesia seperti sekarang, bagi-bagi kartu dan berikan bantuan dana ke rakyat dirasa tak mungkin.

Wacana pengangguran yang akan diberikan Kartu Pra Kerja berisi sejumlah dana sambil menunggu masa kerja, ia menilai itu tidak dapat dilakukan dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini karena tidak ada cukup dana untuk melakukan itu. "Pengangguran kita kasih kerjaan, bukan dibagi duit. Kalau itu (dibagi duit), namanya bohong. Karena duitnya enggak ada," ujarnya.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah telah menyiapkan anggaran khusus untuk mendukung program Kartu Pra Kerja sebesar Rp10 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. "Kita akan mendesain (APBN) 10 triliun untuk Kartu Pra Kerja," kata Sri Mulyani.

Sedangkan Jokowi menegaskan bahwa Kartu Pra Kerja bukan berarti pemerintah akan menggaji pengangguran seperti isu yang berkembang luas di tengah masyarakat. Jokowi menuturkan bahwa program Kartu Pra Kerja tersebut dialokasikan untuk anak bangsa berusia 18 tahun. Yang menjadi target dari program ini adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, bukan pengangguran. 

Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyambut baik program Jokowi terkait Kartu Pra Kerja yang bakal dimulai Januari 2020. Yang penting, program ini harus bisa dikelola dengan baik, tidak salah sasaran, dan bebas dari kepentingan politik pihak mana pun.

3. Pemindahan Ibu Kota

Presiden Jokowi telah memutuskan ibu kota rencana akan pindah dari Provinsi Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, yakni sebagian Kabupaten Penajem Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp466 triliun.

Jokowi mengatakan, rencana pemindahan ibu kota sudah digagas lama, bahkan sejak era Presiden Soekarno. Alasan dipindah karena beban Jakarta sangat berat sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, jasa, pangkalan udara serta pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia.

Selain itu, Jokowi tidak bisa terus-menerus membiarkan beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat terutama dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara. Nah, sahabat Jokowi, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku mantan Gubernur DKI sempat menolak rencana pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.

Secara pribadi, Ahok menilai rakyat masih susah sehingga untuk apa menghabikan dana besar hanya gara-gara Jakarta macet, lalu ibu kota pindah. "Jadi kan ini bukan karena ada masalah lalu lari dari masalah, itu pendapat saya. Kalau sini macet ya diatasi dong macetnya. Beli aja bus yang banyak, gratiskan," kata Ahok.

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli menyindir rencana pemindahan ibu kota oleh Jokowi. Menurut dia, pelayanan masyarakat masih belum terselesaikan seperti BPJS Kesehatan.

"Untuk bayar BPJS aja enggak sanggup, kok mindahkan Ibu Kota baru. Pak Jokowi sing eling, bayar BPJS dulu. Naikkan dulu pertumbuhan ekonomi hingga di atas 5 persen dulu. Naikkan gaji guru honorer dulu, baru bicara pemindahan ibu kota," ujarnya.

4. Revisi UU KPK dan tolak terbitkan Perppu KPK

Di akhir jabatan periode pertama Jokowi, DPR bersama pemerintah merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Akhirnya, ada tujuh poin yang disetujui dan disahkan dalam revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR.

Tujuh poin itu adalah kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan melalui izin Dewan Pengawas. Kemudian penerbitan SP3 (penghentian penanganan perkara), koordinasi kelembagaan, mekanisme penggeledahan, penyitaan sampai sistem kepegawaian yang mengharuskan semua personalia KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyesalkan disahkannya revisi UU KPK. Menurut dia, UU 30/2002 tentang KPK yang baru disahkan tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi yang ingin perkuat lembaga antirasuah itu. Ia menilai UU KPK malah mengebiri kewenangan komisioner KPK. Apalagi, komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum dalam UU yang baru.

"Beliau (Jokowi) mengatakan bahwa (KPK) akan diperkuat, tetapi kenyataannya komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum. Jadi kewenangan komisioner seperti saya, saya tidak bisa lagi memerintahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (Kewenangan) Ini hilang," kata Laode.

Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sempat ingin melawan setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Jokowi sebelumnya mengatakan akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK. Namun Jokowi tidak mau menerbitkan Perppu tentang KPK. 

Alasannya, karena menghormati proses judicial review yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi baru-baru ini dia kembali mengatakan bahwa mau melihat lebih dahulu implementasi UU KPK yang baru.

5. Beri Grasi ke Koruptor

Komitmen Presiden Jokowi memerangi kejahatan korupsi di Indonesia masih dipertanyakan. Sebab, Jokowi memberikan grasi terhadap terpidana kasus korupsi suap alih fungsi hutan di Riau, yakni mantan Gubernur Riau Annas Maamun.


Tentu, KPK kecewa dengan keputusan Jokowi yang memberikan pengurangan masa hukuman kepada Annas melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019. 

"Kita tetap menghormati keputusan itu. Beliau sudah menjelaskan secara jelas pertimbangan potongan hukuman. Pokoknya kita tidak mau ikut campur, meski kita kecewa," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan.

Annas dihukum 7 tahun penjara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi kasus alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Dengan grasi yang diberikan Presiden Jokowi, hukuman Annas dikurangi satu tahun dari semula 7 tahun menjadi 6 tahun, sehingga Annas akan bebas pada 3 Oktober 2020 dari semula 3 Oktober 2021.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyarankan Jokowi perbaiki sarana di penjara daripada memberikan grasi kepada narapidana koruptor. Sebab, cara itu lebih elegan daripada karena alasan kesehatan terus dikurangi masa tahanannya.

"Perbaikan sarana penjara bisa dilakukan dengan menyediakan fasilitas kesehatan, olah raga hingga komunikasi khusus dengan keluarga untuk napi yang sudah uzur," kata Saut.

6. Penunjukan Sejumlah Menteri, Wakil Menteri, dan Staf Khusus

Jokowi telah mengumumkan 34 nama menteri Indonesia Maju untuk periode 2019-2024 di halaman Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada 23 Oktober 2019. Ada tiga menteri yang menjadi sorotan karena pernah diperiksa KPK, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tansmigrasi Abdul Halim Iskandar serta Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan nama-nama itu belum tentu terlibat korupsi di masa lampau. Tapi, ia menyayangkan presiden tidak mau melibatkan KPK untuk mengecek latar belakang orang-orang yang dipilih menjadi menteri.

"Kalau saya sebagai dosen, saya memberi nilai D (terkait komposisi kabinet). Saya lihat ini lemah banget," kata Zainal.

Selain itu, Jokowi juga melantik 12 nama wakil menteri. Salah satu wakil menteri yang diangkat dari relawan Jokowi, yaitu Ketua Projo Budi Arie Setiadi menjadi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Selanjutnya, Jokowi mengumumkan tujuh nama anak muda yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden. Tapi, ketujuh anak milenial yang jadi Staf Khusus Presiden tidak diberikan tugas khusus oleh Jokowi saat diumumkan.

Tujuh anak muda yang jadi Staf Khusus Presiden, yaitu Angkie Yudistia, Aminuddin Ma’ruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra dan Gracia Billy Mambrasar.

Sementara, tiga orang wajah lama yakni Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, Sukardi Rinakit dan Diaz Hendropriyono. Sedangkan, dua orang lainnya wajah baru, yaitu Arif Budimanta dan Dini Shanti Purwono.

Nah, Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon bingung kenapa para Staf Khusus Presiden periode kedua Jokowi ini tidak memiliki tugas kekhususan. Seharusnya, kata dia, Jokowi mengganti juga namanya bukan lagi Staf Khusus Presiden.

"Baru tahu 'staf khusus' tanpa kekhususan. Staf Umum dong namanya. Harusnya gajinya juga yang umum-umum aja. Bukan khusus 51 juta! Tapi terserah kalian aja deh. Negara kan kalian punya. Atur sesuka hati aja. Kalian buat sesuka hati kalian ajalah," ujarnya.






IV. Perbedaan Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Presiden Joko Widodo

Banyak yang menilai bahwa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid kontroversional, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan presiden kerap dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan presiden berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.

Kemudian muncul kasus Bruneigate yang menyulut sikap pro dan kontra masyarakat terhadap kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap presiden semakin menurun drastis. Ketua MPR Amien Rais yang sebelumnya mendukung Abdurrahman Wahid, mulai berbalik arah.

Skandal Bruneigate dan pengangkatan Wakil Kepala Polri Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan Kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I untuk presiden pada tanggal 1 Pebruari 2001, yang disusul dengan Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) memang terkenal dengan sikapnya yang kontroversional. Hal ini dapat dilihat ketika presiden bukan datang memberi laporan pertanggungjawaban. Dalam hal ini, presiden justru malah mengeluarkan maklumat. Salah satu isi maklumat tersebut yaitu membekukan lembaga MPR dan DPR.

Kemudian jika melihat keadaan sekarang tahun  ini menjadi periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin Republik Indonesia hingga 2024 mendatang. Mantan gubernur DKI Jakarta ini pun telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menjadi kontroversi sepanjang 2019.

Kebijakan yang paling disoroti pada era kepemimpinan Jokowi tahun 2019, di antaranya soal kenaikan tarif iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan program kartu pra kerja.

Selain itu, Jokowi juga membuat kaget masyarakat karena memberikan grasi atau pengurangan masa hukuman bagi terpidana perkara korupsi. Kemudian, menandatangani surat presiden (Surpres) mengenai revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga menolak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK setelah UU KPK disahkan dalam rapat paripurna DPR RI periode 2014-2019.

Selain itu, keputusan Jokowi dalam mengangkat sejumlah menteri dan staf khusus pada Kabinet Indonesia Maju untuk periode lima tahun ke depan juga disoroti publik.












V. Kesimpulan

Dari penjabaran di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kedua kebijakan presiden tersebut menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Tentunya kebijakan yang diterapkan masing-masing memiliki ciri khasnya tersendiri, antara kebijakan yang dibuat oleh bapak presiden Abdurrahman Wahid dengan presiden Joko Widodo. Namun keduanya juga memiliki tantangan pada zamannya tersendiri. Abdurrahman Wahid dengan kebijakannya dan Joko Widodo dengan kebijakannya untuk menghadapi negerinya sendiri. Dalam memperbaiki negaranya sendiri mereka punya cara tersendiri yang tidak lepas dari komentar masyarakat dan dukungan masyarakat. Tapi di sini kita melihat bahwa keduanya menimbulkan kontroversi yang menuai kontra di kalangan masyarakat.

Seharusnya  apapun itu dan bagaimanapun jika menguntungkan kedua pihak antara masyarakat dengan pemimpin dan pimpinannya dengan yang dipimpin itu menguntungkan, maka kita juga harus mendukung apa yang diprogramkan pemerintah dan menjalankan juga menyetujui apa yang yang menjadi kebijakan presiden yang sudah disahkan. Jika kebijakan tersebut menuai pro dan kontra maka tidak seharusnya kita mengunggulkan kontroversialnya dan mengabaikan produktivitasnya. Akan sangat lebih baik jika kita dapat bekerja sama tetapi apabila tidak bisa diterima masyarakat kontroversialnya, maka kembali lagi kita hanya bisa bersuara. Dan bagi kebijakan yang sudah disahkan, ya sudah semua kembali lagi kepada keputusan pemerintah pusat. Hak kita adalah mendukung atau menolak malah kebanyakan ada yang lebih menjadi pengikut apa yang dikatakan pemerintah saja atau bisa disebut cari aman hanya dengan diam dan lakukan saja.




Sumber Referensi:

https://amp.wartaekonomi.co.id/berita261855/6-kebijakan-jokowi-di-2019-yang-bikin-geger/0

https://www.sejarah-negara.com/1570/kebijakan-gusdur/ 

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Presiden 

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kebijakan

https://www.bengkuluinteraktif.com/wewenang-dan-tugas-presiden-negara-kesatuan-republik-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar