Kamis, 22 April 2021

Kekuasaan Pembentuk Undang-undang

Hai, selamat hari Jumat bagi yang mampir ke sini di hari Jumat. Berikut ini adalah salah satu tugas di semester Korondes, iya Korondes. Karena kan ya.. gitu. Jadi ini tuh sumbernya belajar dari Gugel ya, dan ini hasilnya tentang kekuasaan pembentuk undang-undang dan ini yang jadi tugas yang musti dibuat karena udah jadi bagian dari tugas dalam kelompok. Lupa mencantumkan sumbernya jadi maaf ya, karena ini belajar dari Gugel jadi ya gini hasilnya..

Pengertian Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1987) merupakan keputusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga  legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku. Bagir Manan (2009) juga membedakan lembaga negara menjadi dua kelompok yaitu lembaga negara dalam pengertian ketatanegaraan (lembaga negara eksekutif, legislatif atau yudisial) dan lembaga negara yang tidak bersifat ketatanegaraan (administratif). Dalam perkembangan penyelenggaraan negara, ternyata pembagian tersebut tidak dapat diterapkan sesuai dengan pembagiannya, karena dalam praktiknya semua fungsi memerlukan kewenangan untuk membentuk peraturannya masing-masing yang menjadikan fungsi mengatur tidak hanya ada pada lembaga legislatif.

 Indonesia sendiri merupakan penganut sistem pembagian kekuasaan menjadikan fungsi legislasi yang utama yaitu pembentukan undang-undang tidak hanya pada tangan lembaga legislatif (DPR) melainkan juga melibatkan Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan eksekutif. Selain itu, fungsi legislasi presiden bukan hanya membentuk undang-undang bersama DPR saja, namun juga berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

Kekuasaan pembentukan perundang-undangan berasal dari atribusi yang merupakan pemberian kewenangan kepada lembaga negara tertentu oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang, dan dari delegasi yang merupakan penyerahan kewenangan dari lembaga negara kepada lembaga negara lain. Dengan penyerahan kewenangan tersebut maka kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan. Jadi, tidak semua lembaga memiliki kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan namun kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki lembaga negara saja melainkan dimiliki juga oleh lembaga pemerintah tertentu atas dasar delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan didasarkan kepada kebebasan bertindak yang bersifat mengikat secara umum dan muncul dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan yang tidak diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Jadi, mungkin saja lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk membentuk suatu peraturan, namun bukan peraturan perundang-undangan.

Lembaga negara yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan atas dasar atribusi kekuasaan dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. MPR dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3),

2. Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) s/d ayat (5)),

3. Presiden dalam membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22);

4. Pemerintahan Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah (Pasal 18 ayat (6).

Selain peraturan perundang-undangan di atas,Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU No. 12 Tahun 2011”), juga menambahkan 2 peraturan perundang-undangan atas dasar kewenangan atribusian, yaitu:

1. Ketetapan MPR;

2. Peraturan Presiden

Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur lembaga-lembaga (bukan hanya lembaga negara), yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan lainnya, sebagai berikut:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 selanjutnya mengatur bahwa:

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Peraturan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dengan syarat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan delegasian (atas dasar delegasi). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga tersebut dengan syarat “dibentuk berdasarkan kewenangan” dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan?

berdasarkan Pasal  8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, semua peraturan yang dibentuk lembaga negara atau bahkan lembaga/pejabat pemerintahan (seperti Menteri) yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) undang-undang tersebut, dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, walaupun hanya didasarkan atas kewenangan, yang belum tentu merupakan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan (atribusi atau delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan).

Dasar Hukum:

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia 1945

2.    Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Kekuasaan Membentuk Perundang-Undangan

1)      Kekuasaan DPR dalam Pembentukan Undang-undang

Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan yang mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah. Parlemen bertindak sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial terhadap kekuasaan. Tetapi dalam perkembangannya saat ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan terbuka yang melibatkan keahlian legislator. Sementara instrumen yang dapat digunakan oleh Parlemen untuk merealisasikan fungsi  pengawasan terhadap jalannya pemerintah secara efektif adalah:

a.       Hak budget

b.      Hak inteplasi

c.       Hak angket

d.      Hak usul resolusi

e.       Hak konfirmasi atau hak memilih calon pejabat tertentu

Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban mengajukan rancangan Undang-undang, hak Amandemen atau hak untuk merubah setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Jimly Ashidigie: fungsi legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan Undang-undang. Selanjutnya menurut Bentham, tujuan legislasi atau kebijakan publik adalah untuk mempromosikan kebahagiaan terbesar  bagi sebanyak-banyaknya orang.

Kemudian, mengenai fungsi legislatif, parlemen mempunyai hak-hak seperti :

(a) hak inisiatif,

(b) hak amandemen

 Dalam menghadapi rancangan undang-undang, setiap kamar lembaga parlemen dilengkapi dengan hak veto yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto berfungsi sebagai kontroler terhadap pelaksanaan fungsi legislatif, ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga dalam sistem bicameral yang pemerintahannya bersifat presidential hak veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu presiden, majelis tinggi dan majelis rendah. Dalam sistem bicameral yang akan diperkenalkan di Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Melalui mekanisme hak veto itu proses Checks and Balance tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.


2)      Kekuasaan DPD dalam Pembentukan Undang-undang

DPD merupakan representasi wilayah Provinsi dimana setiap provinsi ditentukan anggota DPD sebanyak empat orang. DPD adalah individu-individu non-partisan yang akan menyuarakan suatu Propinsinya. Ini berarti, idealnya anggota DPD akan lebih independen dari pada anggota DPR. Dengan konsep ini diharapkan bisa terbentuk mekanisme checks and balance antara lembaga-lembaga negara secara lebih baik yang akan memperlihatkan perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika Serikat.

Namun, konsep keseimbangan tersebut menjadi tidak seimbang ketika Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang Susduk) yang disahkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 31 Juli 2003 banyak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki oleh kamar pertama dalam sebuah sistem bicamarel. Pembatasan-pembatasan tersebut misalnya saja dapat dilihat dalam pasal 42 UU Susduk. Dalam pasal ini diatur bahwa DPD hanya memiliki fungsi yaitu :

a.       Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan dengan bidang legislasi tertentu,

b.      Pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.

Artinya, ketentuan dalam pasal tersebut sangat membatasi kewenangan  DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan Undang-undang, ia hanya dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan pertimbangan tanpa diminta kewenangan untuk mengambil keputusan. Selain itu, kewenangan yang dimilikinya pun hanya terhadap Undang–undang tertentu saja yaitu Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan pengembangan  daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta Undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam Pasal  (46) yang ayat ( 1) tata tertib DPD menyebutkan tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah : merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan, usul pembentukan rancangan Undang-undang dan usul rancangan Undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggota DPD dan setiap anggaran.

 implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden, yang dapat dilihat sebagai berikut.

1.        DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan 1) Otonomi daerah, 2) Hubungan pusat dan daerah, 3) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan 5) Perimbangan keunangan pusat dan daerah (Pasal 22 D Ayat (1) UUD1945).

2.        DPD ikut membahas sejumlah rancangan Undang-undang yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, (Pasal 22 D Ayat (2) UUD1945).

3.        DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang pada kegiatan kedua di atas, dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22 D Ayat (3) UUD1945). Selain itu, anggota DPD diperhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya  di atur  dalam Undang-Undang (Pasal 22 D Ayat (4) UUD1945). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.

Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber dibawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah subordinat dari Parpol yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hirarki dan oligopoli. Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1) UUD1945). DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu dan mewakili unit kedaerahan, yaitu Propinsi.

3)      Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Undang-undang

      Sebelum perubahan UUD1945, Presiden merupakan lembaga yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan sesudah perubahan UUD1945, Presiden masih pula dilibatkan seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan secara bersama dengan DPR terhadap RUU dan pengesahan RUU menjadi undang-undang yang juga dilakukan oleh Presiden.

Pembentukan Undang-Undang

DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh Anggota, komisi, atau gabungan komisi.

Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Presiden.

Rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh DPD, dalam hal berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dan disertai dengan naskah akademis, kecuali rancangan undang-undang mengenai: 

a. APBN;

b. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; atau

c. pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) disusun berdasarkan Prolegnas.

Dalam keadaan tertentu, hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas.

Rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dan Presiden paling lambat 7 (tujuh) Hari disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.

Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Jadi kesimpulannya adalah, lembaga pembentuk undang-undang adalah lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD). Lembaga yang mengesahkan undang-undang bentukan lembaga legislatif adalah lembaga eksekutif (Presiden)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kebijakan Politik Para Penguasa Indonesia

KOMPARASI KEBIJAKAN POLITIK PENGUASA-PENGUASA INDONESIA Latar Belakang Masalah Presiden secara umum merupakan istilah untuk seseorang yang m...