Jumat, 14 Mei 2021

Kebijakan Politik Para Penguasa Indonesia

KOMPARASI KEBIJAKAN POLITIK PENGUASA-PENGUASA INDONESIA


Latar Belakang Masalah

Presiden secara umum merupakan istilah untuk seseorang yang memiliki kekuasaan eksekutif. Terutama dipergunakan untuk kepala negara suatu republik, baik dipilih secara langsung melalui pemilu, ataupun tak langsung. Presiden adalah pimpinan pelaksana perundang-undangan dalam sebuah negara Republik.

Indonesia selain berbentuk Republik, juga merupakan sebuah Negara Kesatuan. Negara Kesatuan adalah negara berdaulat yang dipimpin sebagai satu kesatuan tunggal. Pemerintahan pusat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan berkewajiban menjalankan kekuasaan-kekuasaan serta kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan serta dipilih oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh masing-masing kepala daerah dalam satu Negara Kesatuan. Presiden di dalam Negara Republik mempunyai tugas dan jabatan, juga berkewajiban menjalankan kekuasaan dan kebijakan yang telah ditetapkan.

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.

Sudah sekian kali Indonesia berganti presiden yang tentunya membuat kebijakan-kebijakannya seiring dengan perkembangan dan kondisi masing-masing penguasa di Indonesia. Berikut ini kita akan melihat dan membandingkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan beberapa penguasa di Indonesia. Kemudian kita dapat menyimpulkan dari perbandingan kebijakan yang diterapkan penguasa-penguasa di Indonesia.


II. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid

Pemberhentian Kapolri Roesmanhadi

Pemberhentian Kapolri jenderal (Pol) Roesmanhadi yang dinilai tidak mampu mengantisipasi terjadinya pembakaran Sekolah Kristen STT Doulus.

Pemberhentian Kasuspen Hankam

Pemberhentian Kasuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatarbelakangi oleh pernyataannya bahwa presiden bukan panglima tinggi TNI. Ia digantikan oleh Marsekal Muda TNI Graito dari TNI AU. Hal ini cukup mengagetkan, karena selama 32 tahun terakhir kalangan dari TNI AU tidak pernah menduduki jabatan strategis dalam jajaran TNI.

Pemberhentian Wiranto sebagai Menko Polkam

Pemberhentian Wiranto sebagai menko polkam yang dilatarbelakangi oleh hubungan tidak harmonis antara Wiranto dan Gusdur. Ketidakharmonisan ini muncul ketika presiden mengizinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM untuk menyelidiki para jenderal, termasuk Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Atas tindakan presiden tersebut, muncul pernyataan dari Pangkostrad Letjen TNI Djaja Suparman yang mengatakan “jika para jenderal diseret ke pengadilan, para prajurit akan marah”. Pernyataan ini dinilai oleh beberapa kalangan bahwa TNI sedang menyiapkan kudeta. Anggapan ini dibantah keras oleh Pangdam Wirabuana Mayjen TNI Agus Wirahadikusuma yang mengatakan TNI bukan hulubalang penguasa atau jenderal yang berkuasa. Isu ini juga dibantah oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Ryamizard Riyacudu yang mengatakan “Tidak ada budaya tentara melakukan kudeta terhadap pemerintah, tidak ada kudeta.” Isu ini kudeta terus bergulir, bahkan pertemuan tertutup Menko Polkam Wiranto dengan para jenderal di Mabes TNI Cilangkap pada tanggal 2 Pebruari 2000 dianggap sebagai persiapan kudeta. Atas kejadian tersebut, sejumlah anggota DPR RI yang tergabung dalam Kaukus Politikus Muda mendesak Menko Polkam Jenderal TNI Wiranto agar segera mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka yang tergabung dalam Kaukus Politikus Muda adalah : Muhaimin Iskandar (PKB), Ali Masykur Musa (PKB), Bara Hasibuan (PAN), dan Heri Akhmadi (PDI Perjuangan). Akhirnya pada tanggal 13 Pebruari 2000 presiden mengeluarkan perintah untuk menonaktifkan Wiranto dari jabatan Menko Polkam.

Pengumuman Menteri Kabinet Persatuan Nasional

Mengeluarkan pengumuman tentang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Beberapa menteri merasa sulit melakukan koordinasi dengan menteri lainnya dalam menghadapi tudingan KKN tersebut.

Penggantian Irian Jaya Menjadi Papua

Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Presiden bahkan menyetujui pula pengibaran Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua.

Atas kebijakan yang menguntungkan ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Fluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua pada bulan Mei – Juni tahun 2000. Selain itu, Dewan Presidium Papua menetapkan tanggal 1 Desember (tanggal berakhirnya pendudukan Belanda pada tahun 1962) menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.

Sekilas Pro dan Kontra

Selain penilaian bahwa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid kontroversional, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan presiden kerap dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan presiden berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.

 suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, muncul kasus Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap presiden semakin menurun drastis. Ketua MPR Amien Rais yang sebelumnya mendukung Abdurrahman Wahid, mulai berbalik arah.

Mungkin timbul pertanyaan : “Apa itu kasus Brunegate?” Silahkan anda browsing, banyak sekali yang membahasnya.

Skandal Bruneigate dan pengangkatan Wakil Kepala Polri Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan Kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I untuk presiden pada tanggal 1 Pebruari 2001, yang disusul dengan Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) memang terkenal dengan sikapnya yang kontroversional. Hal ini dapat dilihat ketika presiden bukan datang memberi laporan pertanggungjawaban. Dalam hal ini, presiden justru malah mengeluarkan maklumat. Salah satu isi maklumat tersebut yaitu membekukan lembaga MPR dan DPR.

Adapun isi maklumat atau dekrit tersebut silahkan baca di artikel sejarah Indonesia: Dekrit Presiden Gusdur yang Kontroversial.






III. Kebijakan Presiden Joko Widodo

1. Tarif Iuran BPJS Naik

Presiden Jokowi menyetujui kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Alasan iuran BPJS naik untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan. Maka perlu disesuaikan beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang BPJS Kesehatan. Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah menjadi sebesar Rp42.000 per bulan dari sebelumnya Rp25.500.

Dalam Pasal 34 disebutkan bahwa iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) meningkat menjadi Rp42.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp25.500 untuk ruang perawatan kelas III. Iuran peserta kelas II juga naik menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000. Sedangkan, untuk kelas I menjadi Rp160.000 dari sebelumnya Rp80.000. 

2. Program Kartu Pra Kerja

Pada kampanye Pemilu Presiden 2019, Jokowi kembali memamerkan program kartu sakti kepada masyarakat, di antaranya Kartu Indonesia Pintar sampai Kuliah (KIP Kuliah), Kartu Sembako Murah dan Kartu Pra Kerja. Khusus Kartu Pra Kerja, Jokowi mengatakan bahwa kartu ini tidak langsung didapatkan masyarakat yang baru lulus jenjang pendidikan karena harus sesuaikan dengan APBN yang diukur tiap tahunnya.


Prabowo Subianto sebagai rival Jokowi saat Pemilu Presiden 2019 pun menyindir program kartu sakti tersebut. Menurut dia, dalam kondisi keuangan Indonesia seperti sekarang, bagi-bagi kartu dan berikan bantuan dana ke rakyat dirasa tak mungkin.

Wacana pengangguran yang akan diberikan Kartu Pra Kerja berisi sejumlah dana sambil menunggu masa kerja, ia menilai itu tidak dapat dilakukan dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini karena tidak ada cukup dana untuk melakukan itu. "Pengangguran kita kasih kerjaan, bukan dibagi duit. Kalau itu (dibagi duit), namanya bohong. Karena duitnya enggak ada," ujarnya.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah telah menyiapkan anggaran khusus untuk mendukung program Kartu Pra Kerja sebesar Rp10 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. "Kita akan mendesain (APBN) 10 triliun untuk Kartu Pra Kerja," kata Sri Mulyani.

Sedangkan Jokowi menegaskan bahwa Kartu Pra Kerja bukan berarti pemerintah akan menggaji pengangguran seperti isu yang berkembang luas di tengah masyarakat. Jokowi menuturkan bahwa program Kartu Pra Kerja tersebut dialokasikan untuk anak bangsa berusia 18 tahun. Yang menjadi target dari program ini adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, bukan pengangguran. 

Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyambut baik program Jokowi terkait Kartu Pra Kerja yang bakal dimulai Januari 2020. Yang penting, program ini harus bisa dikelola dengan baik, tidak salah sasaran, dan bebas dari kepentingan politik pihak mana pun.

3. Pemindahan Ibu Kota

Presiden Jokowi telah memutuskan ibu kota rencana akan pindah dari Provinsi Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, yakni sebagian Kabupaten Penajem Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp466 triliun.

Jokowi mengatakan, rencana pemindahan ibu kota sudah digagas lama, bahkan sejak era Presiden Soekarno. Alasan dipindah karena beban Jakarta sangat berat sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, jasa, pangkalan udara serta pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia.

Selain itu, Jokowi tidak bisa terus-menerus membiarkan beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat terutama dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara. Nah, sahabat Jokowi, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku mantan Gubernur DKI sempat menolak rencana pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.

Secara pribadi, Ahok menilai rakyat masih susah sehingga untuk apa menghabikan dana besar hanya gara-gara Jakarta macet, lalu ibu kota pindah. "Jadi kan ini bukan karena ada masalah lalu lari dari masalah, itu pendapat saya. Kalau sini macet ya diatasi dong macetnya. Beli aja bus yang banyak, gratiskan," kata Ahok.

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli menyindir rencana pemindahan ibu kota oleh Jokowi. Menurut dia, pelayanan masyarakat masih belum terselesaikan seperti BPJS Kesehatan.

"Untuk bayar BPJS aja enggak sanggup, kok mindahkan Ibu Kota baru. Pak Jokowi sing eling, bayar BPJS dulu. Naikkan dulu pertumbuhan ekonomi hingga di atas 5 persen dulu. Naikkan gaji guru honorer dulu, baru bicara pemindahan ibu kota," ujarnya.

4. Revisi UU KPK dan tolak terbitkan Perppu KPK

Di akhir jabatan periode pertama Jokowi, DPR bersama pemerintah merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Akhirnya, ada tujuh poin yang disetujui dan disahkan dalam revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR.

Tujuh poin itu adalah kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan melalui izin Dewan Pengawas. Kemudian penerbitan SP3 (penghentian penanganan perkara), koordinasi kelembagaan, mekanisme penggeledahan, penyitaan sampai sistem kepegawaian yang mengharuskan semua personalia KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyesalkan disahkannya revisi UU KPK. Menurut dia, UU 30/2002 tentang KPK yang baru disahkan tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi yang ingin perkuat lembaga antirasuah itu. Ia menilai UU KPK malah mengebiri kewenangan komisioner KPK. Apalagi, komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum dalam UU yang baru.

"Beliau (Jokowi) mengatakan bahwa (KPK) akan diperkuat, tetapi kenyataannya komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum. Jadi kewenangan komisioner seperti saya, saya tidak bisa lagi memerintahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (Kewenangan) Ini hilang," kata Laode.

Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sempat ingin melawan setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Jokowi sebelumnya mengatakan akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK. Namun Jokowi tidak mau menerbitkan Perppu tentang KPK. 

Alasannya, karena menghormati proses judicial review yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi baru-baru ini dia kembali mengatakan bahwa mau melihat lebih dahulu implementasi UU KPK yang baru.

5. Beri Grasi ke Koruptor

Komitmen Presiden Jokowi memerangi kejahatan korupsi di Indonesia masih dipertanyakan. Sebab, Jokowi memberikan grasi terhadap terpidana kasus korupsi suap alih fungsi hutan di Riau, yakni mantan Gubernur Riau Annas Maamun.


Tentu, KPK kecewa dengan keputusan Jokowi yang memberikan pengurangan masa hukuman kepada Annas melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019. 

"Kita tetap menghormati keputusan itu. Beliau sudah menjelaskan secara jelas pertimbangan potongan hukuman. Pokoknya kita tidak mau ikut campur, meski kita kecewa," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan.

Annas dihukum 7 tahun penjara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi kasus alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Dengan grasi yang diberikan Presiden Jokowi, hukuman Annas dikurangi satu tahun dari semula 7 tahun menjadi 6 tahun, sehingga Annas akan bebas pada 3 Oktober 2020 dari semula 3 Oktober 2021.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyarankan Jokowi perbaiki sarana di penjara daripada memberikan grasi kepada narapidana koruptor. Sebab, cara itu lebih elegan daripada karena alasan kesehatan terus dikurangi masa tahanannya.

"Perbaikan sarana penjara bisa dilakukan dengan menyediakan fasilitas kesehatan, olah raga hingga komunikasi khusus dengan keluarga untuk napi yang sudah uzur," kata Saut.

6. Penunjukan Sejumlah Menteri, Wakil Menteri, dan Staf Khusus

Jokowi telah mengumumkan 34 nama menteri Indonesia Maju untuk periode 2019-2024 di halaman Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada 23 Oktober 2019. Ada tiga menteri yang menjadi sorotan karena pernah diperiksa KPK, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tansmigrasi Abdul Halim Iskandar serta Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah.

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan nama-nama itu belum tentu terlibat korupsi di masa lampau. Tapi, ia menyayangkan presiden tidak mau melibatkan KPK untuk mengecek latar belakang orang-orang yang dipilih menjadi menteri.

"Kalau saya sebagai dosen, saya memberi nilai D (terkait komposisi kabinet). Saya lihat ini lemah banget," kata Zainal.

Selain itu, Jokowi juga melantik 12 nama wakil menteri. Salah satu wakil menteri yang diangkat dari relawan Jokowi, yaitu Ketua Projo Budi Arie Setiadi menjadi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Selanjutnya, Jokowi mengumumkan tujuh nama anak muda yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden. Tapi, ketujuh anak milenial yang jadi Staf Khusus Presiden tidak diberikan tugas khusus oleh Jokowi saat diumumkan.

Tujuh anak muda yang jadi Staf Khusus Presiden, yaitu Angkie Yudistia, Aminuddin Ma’ruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra dan Gracia Billy Mambrasar.

Sementara, tiga orang wajah lama yakni Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, Sukardi Rinakit dan Diaz Hendropriyono. Sedangkan, dua orang lainnya wajah baru, yaitu Arif Budimanta dan Dini Shanti Purwono.

Nah, Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon bingung kenapa para Staf Khusus Presiden periode kedua Jokowi ini tidak memiliki tugas kekhususan. Seharusnya, kata dia, Jokowi mengganti juga namanya bukan lagi Staf Khusus Presiden.

"Baru tahu 'staf khusus' tanpa kekhususan. Staf Umum dong namanya. Harusnya gajinya juga yang umum-umum aja. Bukan khusus 51 juta! Tapi terserah kalian aja deh. Negara kan kalian punya. Atur sesuka hati aja. Kalian buat sesuka hati kalian ajalah," ujarnya.






IV. Perbedaan Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Presiden Joko Widodo

Banyak yang menilai bahwa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid kontroversional, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan presiden kerap dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, termasuk urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan presiden berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.

Kemudian muncul kasus Bruneigate yang menyulut sikap pro dan kontra masyarakat terhadap kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap presiden semakin menurun drastis. Ketua MPR Amien Rais yang sebelumnya mendukung Abdurrahman Wahid, mulai berbalik arah.

Skandal Bruneigate dan pengangkatan Wakil Kepala Polri Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan Kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I untuk presiden pada tanggal 1 Pebruari 2001, yang disusul dengan Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) memang terkenal dengan sikapnya yang kontroversional. Hal ini dapat dilihat ketika presiden bukan datang memberi laporan pertanggungjawaban. Dalam hal ini, presiden justru malah mengeluarkan maklumat. Salah satu isi maklumat tersebut yaitu membekukan lembaga MPR dan DPR.

Kemudian jika melihat keadaan sekarang tahun  ini menjadi periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin Republik Indonesia hingga 2024 mendatang. Mantan gubernur DKI Jakarta ini pun telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menjadi kontroversi sepanjang 2019.

Kebijakan yang paling disoroti pada era kepemimpinan Jokowi tahun 2019, di antaranya soal kenaikan tarif iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan program kartu pra kerja.

Selain itu, Jokowi juga membuat kaget masyarakat karena memberikan grasi atau pengurangan masa hukuman bagi terpidana perkara korupsi. Kemudian, menandatangani surat presiden (Surpres) mengenai revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga menolak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK setelah UU KPK disahkan dalam rapat paripurna DPR RI periode 2014-2019.

Selain itu, keputusan Jokowi dalam mengangkat sejumlah menteri dan staf khusus pada Kabinet Indonesia Maju untuk periode lima tahun ke depan juga disoroti publik.












V. Kesimpulan

Dari penjabaran di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kedua kebijakan presiden tersebut menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Tentunya kebijakan yang diterapkan masing-masing memiliki ciri khasnya tersendiri, antara kebijakan yang dibuat oleh bapak presiden Abdurrahman Wahid dengan presiden Joko Widodo. Namun keduanya juga memiliki tantangan pada zamannya tersendiri. Abdurrahman Wahid dengan kebijakannya dan Joko Widodo dengan kebijakannya untuk menghadapi negerinya sendiri. Dalam memperbaiki negaranya sendiri mereka punya cara tersendiri yang tidak lepas dari komentar masyarakat dan dukungan masyarakat. Tapi di sini kita melihat bahwa keduanya menimbulkan kontroversi yang menuai kontra di kalangan masyarakat.

Seharusnya  apapun itu dan bagaimanapun jika menguntungkan kedua pihak antara masyarakat dengan pemimpin dan pimpinannya dengan yang dipimpin itu menguntungkan, maka kita juga harus mendukung apa yang diprogramkan pemerintah dan menjalankan juga menyetujui apa yang yang menjadi kebijakan presiden yang sudah disahkan. Jika kebijakan tersebut menuai pro dan kontra maka tidak seharusnya kita mengunggulkan kontroversialnya dan mengabaikan produktivitasnya. Akan sangat lebih baik jika kita dapat bekerja sama tetapi apabila tidak bisa diterima masyarakat kontroversialnya, maka kembali lagi kita hanya bisa bersuara. Dan bagi kebijakan yang sudah disahkan, ya sudah semua kembali lagi kepada keputusan pemerintah pusat. Hak kita adalah mendukung atau menolak malah kebanyakan ada yang lebih menjadi pengikut apa yang dikatakan pemerintah saja atau bisa disebut cari aman hanya dengan diam dan lakukan saja.




Sumber Referensi:

https://amp.wartaekonomi.co.id/berita261855/6-kebijakan-jokowi-di-2019-yang-bikin-geger/0

https://www.sejarah-negara.com/1570/kebijakan-gusdur/ 

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Presiden 

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kebijakan

https://www.bengkuluinteraktif.com/wewenang-dan-tugas-presiden-negara-kesatuan-republik-indonesia

Kamis, 06 Mei 2021

Resume Buku: Pergeseran Kekuasaan Eksekutif

RESUME BUKU PERGESERAN KEKUASAAN EKSEKUTIF


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Politik 

yang dibimbing oleh : 

Abah Sodiq

Disusun oleh:


Alvin

Sultan

Rinta

Nawang

Al

Dinda



Identitas Buku 

Judul : Pergeseran Kekuasaan Eksekutif

Pengarang : Prof.Dr. Ismail Suny, S.H., M.CL.

Penerbit : Aksara Baru

Edisi / Cetakan : Cetakan tahun 1977

Jumlah Halaman : 256

Studi empiris terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan kewenangannya, belum banyak mendapatkan tempat yang semestinya di Indonesia. Padahal di satu sisi, kajian dengan tipikal ini akan sangat membantu perkembangan dunia hukum untuk bisa berkembang di Indonesia, khususnya terkait dengan MK. Lebih dari itu semua, keberadaan MK secara empiris dan normatif merupakan pembaharuan dalam sistem ketatanegaraan kita. Dengan logika yang demikian, maka ada perubahan yang terjadi. Menjadi menarik guna melihat berbagai perkembangan ini. Sejarah bangsa ini telah menjatuhkan pilihannya untuk membentuk MK. Dalam posisi ini sebenarnya kita melihat bagaimana para pembentuk UUD 1945 telah berpikir secara sosiologis dengan melihat masa depan perkembangan sistem ketatanegaraan. 

Perubahan UUD 1945 telah dikehendaki sejak tahun 1945, segera setelah dirancangnya UUD itu. la hanya berisi prinsip-prinsip umum serta menyerahkan pengaturan selanjutnya kepada perundang-undangan yang lebih rendah. Banyak hal-hal yang sangat penting mengenai pemerintahan yang tidak disuratkan ataupun tersirat dalam UUD 1945, bahkan hal-hal yang dicantum di dalamnya seringkali dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat berarti dua macam. Keadaan ini bukan saja dapat dimengerti, bahkan juga dapat dimanfaatkan, bila orang mengetahui dalam suasana apa pembuatan naskah Undang-Undang Dasar itu terjadi.

Dalam skala yang lebih luas, bahwa kewenangan dalam ranah ketatanegaraan di Indonesia memang sedang berubah. Fenomena yang terjadi berujung kepada pergeseran kekuasaan. Sejarah pernah membuktikan bahwa orde baru kental diwarnai oleh executive heavy, yang kemudian berubah pasca amandemen UUD 1945 menuju ke arah legislative heavy, maka kali ini perubahan itu muncul kembali. Jika secara ketat kita membagi kekuasaan negara dalam tiga organ penting, maka perubahan tentu akan merujuk kepada judicative heavy.

BAB 1

EKSEKUTIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 : SIFAT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Kejatuhan pemerintahan Soeharto membawa akibat yang luas terhadap kehidupan bangsa Indonesia dan sistem kenegaraan Indonesia. Kehidupan bangsa menjadi lebih demokratis. Demokratisasi juga menjangkau kehidupan politik dengan diubahnya seperangkat undang-undang yang menyangkut kegiatan politik sehingga kegiatan politik menjadi sangat bebas dan terbuka. Jumlah partai politik pun meningkat drastis. Perubahan lebih lanjut terjadi pada sistem ketatanegaraan dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945. Masa ini dikenal dengan masa reformasi. Selama 54 tahun sejak diberlakukannya pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah diubah. Undang-undang dasar ini sebenarnya mengamanatkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk membentuk undang-undang dasar yang baru dalam waktu 6 bulan sejak diberlakukannya undang-undang dasar ini karena UndangUndang Dasar 1945 dibuat dalam keadaan darurat Sebagai akibat dari keadaan darurat ini, UUD 1945 tidak dibuat secara terperinci. Pembuatannya pun dilakukan oleh panitia yang tidak dipilih melalui pemilihan umum. 

Namun MPR itu sendiri gagal dibentuk karena situasi darurat perang sebab setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu, Belanda mencoba merebut kembali wilayah jajahannya tetapi harus menghadapi perlawanan rakyat Indonesia. Selama keadaan darurat perang dan masa-masa sesudah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar 1950. Namun kedua undang-undang dasar ini pun bukanlah hasil keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

MPR barulah terbentuk melalui pemilihan umum 1955. Namun MPR gagal membentuk undang-undang dasar karena dalam proses pengambilan keputusannya selalu menemui jalan buntu (deadlock). Pada tahun 1959 Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959 menyatakan UUD 1945 berlaku kembali. Dimasa Orde Baru, MPR hasil pemilu 1971 tidak membuat undang-undang dasar baru. MPR bahkan mengukuhkan UUD 1945. Selama masa pemerintahan Soeharto, UUD 1945 tidak mengalami perubahan sarna sekali.

Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden, terjadi perubahan sistem politik yang diikuti pemilihan umum pada tahun 1999. MPR hasil pemilihan umum inilah yang mulai melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 1999. Amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000 yang diikuti amandemen ketiga pada tahun 2001 dan amandemen keempat pada tahun 2002. Setelah amendemen keempat, UUD 1945 tidak lagi singkat tetapi terperinci. Meskipun masih terdiri 37 pasal namun pasal-pasal itu berkembang, misalnya pasal 28 menjadi pasal 28A, 28B, 28C dan seterusnya. Jumlah pasal sekarang menjadi 73 pasal. Amandemen ini mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan, kekuasaan presiden, kekuasaan parlemen dan lembaga peradilan.

Nampaknya Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang permanen. Pada saat didirikannya di tahun 1945, Indonesia adalah negara kesatuan. Akan tetapi kemudian berubah menjadi negara federasi, sebagai akibat dari perundingan panjang dengan Selanda. Susunan negara kemudian kembali menjadi negara kesatuan. Sentuk pemerintahan pun berubah. Pada awalnya presidensiil, namun kemudian berubah menjadi parlementer setelah pemilihan umum 1955 . Sentuk pemerintahan kembali menjadi presidensiil sete lah dekrit presiden tahun 1959. Sentuk presidensiil murni inipun ada yang meragukan karena dalam sistem ini terkandung ciri-c iri parle menter, seperti misalnya adanya' j abatan perdana menteri yang memiliki kekuasaan yang cukup besar.

Seperti telah disebutkan diatas, Indonesia dianggap menganut bentuk pemerintahan yang presidensiil. Alasannya ialah bahwa presiden mengangkat dan memberhentikan menteri serta memimpin eksekutif. Presiden pun memegang kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dengan membuat peraturan pemerintah dan keputusan presiden. 

Akan tetapi Sri Sumantri meragukan sistem Int merupakan bentuk pemerintahan presidensiil murni. Alasannya ialah bahwa dalam sistem ini terdapat karakteristik parlementer seperti yang terlihat dalam kekuasaan MPR yang mengangkat dan memberhentikan Presiden. Jadi sistem ini merupakan campuran dari presidensiil dan parlementer. Kombinasi karakteristik parlementer dan presidensiil juga terlihat dalam pertanggungjawaban tugas Presiden kepada MPR sebagai ciri parlementer dan pertanggungjawaban tugas menteri kepada Presiden sebagai ciri presidensiil. 

Oleh karena itu Azhary berpendapat sebaiknya sistem ini dinamai sistem MPR. Ada lima alasan yang mendukung argumentasinya. Pertama, MPR memegang kekuasaan negara tertinggi. Kedua, kegiatan kenegaraan berpusat di MPR. Ketiga, DPR yang merupakan badan legislatif menjadi bagian dari MPR yang menjalankan kedaulatan rakyat. Keempat, Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Kelima, MPR memegang kekuasaan untuk mengamandemen dan membuat undang-undang dasar serta Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan pedoman bagi pemerintah. 

MPR juga memegang kedaulatan rakyat. Supremasi MPR mencakup dua aspek, yakni kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi dan tiadanya lembaga negara yang menyamai kedudukannya. Kekuasaan MPR ini kemudian didelegasikan kepada: Presiden sebagai lembaga eksekutif; Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif; Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif; Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga inspektif; dan Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga konsultatif.

Walaupun MPR adalah le'mbaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, MPR tidak mengelola negara setiap hari. Selama peri ode 5 tahunan masa kerjanya, tugas MPR hanyalah mengangkat Presiden, membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan meminta pertanggungjawaban Presiden. Tugas harian pengawasan terhadap eksekutif dilakukan oleh DPR. Diakhir masajabatan Presiden, MPR menilai pertanggungjawaban Presiden dan menentukan apakah menerima atau menolaknya.

DPR adalah bagian dari MPR. Tugasnya adalah mengawasi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden. Disamping itu, tugas DPR adalah bersama dengan Presiden membuat undang-undang. Kedudukan DPR setara dengan Presiden. DPR tidak bisa memberhentikan Presiden. Demikian pula President tidak dapat membubarkan DPR. Dibidang keuangan, Presiden diawasi oleh DPR dan BPK. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan harusdisetujui oleh DPR. Pendapatan dan belanja negara diaudit oleh BPK. Untuk alasan ini kedudukan BPK tidak dibawah Presiden.

Pasca amandemen, sebagian kekuasaan MPR dilucuti. Kini MPR tidak lagi memegang kedaulatan rakyat. MPR tidak lagi mengangkat Presiden karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Walaupun MPR masih memegang kekuasaan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya, proses pemberhentian Presiden harus melalui suatu prosedur panjang dan ketat yang harus melibatkan DPR dan

Mahkamah Konstitusi. Tanpa keterlibatan DPR dan Mahkamah Konstitusi, MPR tidak dapat memberhentikan Presiden. Garis-Garis Besar Haluan Negara ditiadakan. Tugas MPR sekarang hanyalah membuat dan mengamandemen undang-undang dasar. Tugas inipun tidak perlu dikerjakan apabila undang-undang dasar yang ada dinilai sudah memadai. Perlucutan sebagian kekuasaan MPR dengan sendirinya merubah sistem. Kini sistem ini tidak dapat lagi dinamai sistem MPR. Karakteristik parlementer juga tidak lagi ditemukan. Oleh karena itu sistem pemerintahan lebih tepat disebut presidensiil murni.

Lembaga negara baru terbentuk, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK). DPD mewakili kepentingan propinsi. Tidak seperti DPR, anggota DPD dipilih langsung diwilayah pemilihannya masing-masing. Anggota DPD tidak mewakili partai politik. Mereka mewakili kepentingan dan aspirasi daerah dan rakyat diwilayahnya masing-masing. Jumlah wakil tiap propinsi di DPD sarna meskipun jumlah penduduk di tiap propinsi berbeda. Kewenangan DPD lebih kecil dari kewenangan dPR dalam proses pembuatan undang-undang dan pengawasan pemerintllh. DPD hanya memiliki kewenangan dalam lima bidang, yaitu: otonomi daerah; hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan propinsi, kabupaten dan kota; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi; dan perimbangan keuangan pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. DPD terlibat dan aktif dalam proses pembentukan undang-undang yang menyangkut kel ima bidang terse but dan mengawasl penegakannya. Anggota DPD adalah anggota MPR.

Mahkamah Konstitusi memiliki lima tugas pokok. Pertama, MK memeriksa kasus peninjauan suatu undang-undang apakah suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kedua, MK mengadili dan memutus sengketa antar lembaga negara. Ketiga, MK mengadili dan memutus sengketa partai politik. Keempat, MK mengadili dan memutus sengketa hasil pemilihan umum. Kelima, MK memberikan pendapat hukum dalam proses pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian fungsi MK adalah sebagai penjaga Undang-Undang Dasar dan hakim bagi sengketa antar lembaga negara dan politik.


BAB 2

EKSEKUTIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1949 : KETENTUAN-KETENTUAN UNDANG-UNDANG DASAR 1949 DAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN ITU

Presiden dengan sah dapat bertindak sebagai dektator, karena bantuan Komite Nasional sama sekali dapat diartikan suatu pengekangan atas kekuasaannya. Oleh karena itu Presiden dapat menetapkan sendiri GBHN dan dapat menetapkan segala undang-undang. Namun dengan adanya maklumat Wakil Presiden No. X/1945 maka kekuasaan Presiden menjadi berkurang. AK. Prenggodigdo mengatakan bahwa : “Kekuasaan Presiden yang sampai kini dapat dikatakan dictator itu”, dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X-1945 itu berarti mengalami kemunduran. Sejak 16 Oktober 1945 Presiden harus membagi kekuasaan yang dipunyai nya berdasarkan pasa IV Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mengenai penetapan garis-garis besar dari  pasa haluan Negara ( dari Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan mengenai pembentukan Undang-Undang (dari Dewan Perwakilan Rakyat) dengan komite Nasional Pusat atau Badan Pekerja. Konvensi ketatanegaraan dikenal dalam praktik bernegara berdasarkan Penjelasan Umum UUD1945. Dewan Menteri atau Kabinet adalah suatu pemerintahan yang timbulnya berdasarkan konvensi ketatanegaraan. Meskipun kabinet merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang sesungguhnya, menteri-menteri itu tidak mempunya kedudukan hukum sebagai anggota kabinet dan tidak mempunyai keduduka hukum sebagai anggota kabinet dan dalam teori hukum (legal theory) mereka hanyalah “servant of the crown”, kepada siapa kekuasaan eksekutif dibebankan.

Stephen Leacock, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang mengenai pelaksnaan undang-undang. Dengan kata lain bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan Negara. Tugas utama dari eksekutif, tidak mempetimbangkan, tetapi melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi dalam Negara modern, urusan eksekutif adalah tidak semudah sebagai adanya pada masa-masa Yunani. Oleh karena beranekaragamnya tugas-tugas Negara, dirasa perlu menyerahkan urusan pemerintah dalam arti luas kepada tangan eksekutif dan tak dapat lagi dikatakan bahwa kekuasaan eksekutif hanya terdiri dari pelaksanaan undang-undang. Kekuasaan eksekutif menurut W.Ansley Wynes: sebagai kekuasaan dalam Negara yang melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan keamanan, baik di dalam maupun di luar negeri. Cabang kekuasaan eksekutif adalah yang memegang kewenangan administrasi Negara yang tertinggi. Dikatakan juga bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam suatu negara demokrasi,kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk undang-undang.

Kekuasaan pembentukan perundang-undangan berasal dari atribusi yang merupakan pemberian kewenangan kepada lembaga negara tertentu oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang, dan dari delegasi yang merupakan penyerahan kewenangan dari lembaga negara kepada lembaga negara lain. Dengan penyerahan kewenangan tersebut maka kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan. Jadi, tidak semua lembaga memiliki kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan namun kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki lembaga negara saja melainkan dimiliki juga oleh lembaga pemerintah tertentu atas dasar delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan didasarkan kepada kebebasan bertindak yang bersifat mengikat secara umum dan muncul dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan yang tidak diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Jadi, mungkin saja lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk membentuk suatu peraturan, namun bukan peraturan perundang-undangan.

Lembaga negara yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan atas dasar atribusi kekuasaan dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:

MPR dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3);

Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) s/d ayat (5));

Presiden dalam membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22); dan

Pemerintahan Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah (Pasal 18 ayat (6).

Selain peraturan perundang-undangan di atas, Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU No. 12 Tahun 2011”), juga menambahkan 2 peraturan perundang-undangan atas dasar kewenangan atribusian, yaitu:

Ketetapan MPR

Peraturan Presiden

Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur lembaga-lembaga (bukan hanya lembaga negara), yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan lainnya, sebagai berikut:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 selanjutnya mengatur bahwa:

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Peraturan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dengan syarat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan delegasian (atas dasar delegasi). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga tersebut dengan syarat “dibentuk berdasarkan kewenangan” dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan? Berdasarkan Pasal  8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, semua peraturan yang dibentuk lembaga negara atau bahkan lembaga/pejabat pemerintahan (seperti Menteri) yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) undang-undang tersebut, dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, walaupun hanya didasarkan atas kewenangan, yang belum tentu merupakan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan (atribusi atau delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan). Dasar Hukum: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


Kekuasaan Pembentukan Undang-Undang

Kekuasaan DPR dalam Pembentukan Undang-undang

Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan yang mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah. Parlemen bertindak sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial terhadap kekuasaan. Tetapi dalam perkembangannya saat ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan terbuka yang melibatkan keahlian legislator. Sementara instrumen yang dapat digunakan oleh Parlemen untuk merealisasikan fungsi  pengawasan terhadap jalannya pemerintah secara efektif adalah:

Hak budget

Hak inteplasi

Hak angket

Hak usul resolusi

Hak konfirmasi atau hak memilih calon pejabat tertentu

Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban mengajukan rancangan Undang-undang, hak Amandemen atau hak untuk merubah setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Jimly Ashidigie: fungsi legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan Undang-undang. Selanjutnya menurut Bentham, tujuan legislasi atau kebijakan publik adalah untuk mempromosikan kebahagiaan terbesar  bagi sebanyak-banyaknya orang.

Kemudian, mengenai fungsi legislatif, parlemen mempunyai hak-hak seperti :

Hak Inisiatif,

Hak Amandemen

Dalam menghadapi rancangan undang-undang, setiap kamar lembaga parlemen dilengkapi dengan hak veto yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto berfungsi sebagai kontroler terhadap pelaksanaan fungsi legislatif, ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga dalam sistem bicameral yang pemerintahannya bersifat presidential hak veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu presiden, majelis tinggi dan majelis rendah. Dalam sistem bicameral yang akan diperkenalkan di Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Melalui mekanisme hak veto itu proses Checks and Balance tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.

Kekuasaan DPD dalam Pembentukan Undang-undang

DPD merupakan representasi wilayah Provinsi dimana setiap provinsi ditentukan anggota DPD sebanyak empat orang. DPD adalah individu-individu non-partisan yang akan menyuarakan suatu Propinsinya. Ini berarti, idealnya anggota DPD akan lebih independen dari pada anggota DPR. Dengan konsep ini diharapkan bisa terbentuk mekanisme checks and balance antara lembaga-lembaga negara secara lebih baik yang akan memperlihatkan perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika Serikat.

Namun, konsep keseimbangan tersebut menjadi tidak seimbang ketika Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang Susduk) yang disahkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 31 Juli 2003 banyak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki oleh kamar pertama dalam sebuah sistem bicamarel. Pembatasan-pembatasan tersebut misalnya saja dapat dilihat dalam pasal 42 UU Susduk. Dalam pasal ini diatur bahwa DPD hanya memiliki fungsi yaitu :

Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan dengan bidang legislasi tertentu,

Pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.

Artinya, ketentuan dalam pasal tersebut sangat membatasi kewenangan  DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan Undang-undang, ia hanya dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan pertimbangan tanpa diminta kewenangan untuk mengambil keputusan. Selain itu, kewenangan yang dimilikinya pun hanya terhadap Undang–undang tertentu saja yaitu Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan pengembangan  daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta Undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam Pasal  (46) yang ayat ( 1) tata tertib DPD menyebutkan tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah : merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan, usul pembentukan rancangan Undang-undang dan usul rancangan Undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggota DPD dan setiap anggaran.

Implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden, yang dapat dilihat sebagai berikut.

DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan 1) Otonomi daerah, 2) Hubungan pusat dan daerah, 3) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan 5) Perimbangan keunangan pusat dan daerah (Pasal 22 D Ayat (1) UUD1945).

DPD ikut membahas sejumlah rancangan Undang-undang yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, (Pasal 22 D Ayat (2) UUD1945).

DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang pada kegiatan kedua di atas, dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22 D Ayat (3) UUD1945). Selain itu, anggota DPD diperhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya  di atur  dalam Undang-Undang (Pasal 22 D Ayat (4) UUD1945). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.

Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber dibawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah subordinat dari Parpol yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hirarki dan oligopoli. Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1) UUD1945). DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu dan mewakili unit kedaerahan, yaitu Propinsi.

Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Undang-undang

Sebelum perubahan UUD1945, Presiden merupakan lembaga yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan sesudah perubahan UUD1945, Presiden masih pula dilibatkan seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan secara bersama dengan DPR terhadap RUU dan pengesahan RUU menjadi undang-undang yang juga dilakukan oleh Presiden.

Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 

Jadi kesimpulannya adalah, lembaga pembentuk undang-undang adalah lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD). Lembaga yang mengesahkan undang-undang bentukan lembaga legislatif adalah lembaga eksekutif (Presiden)

BAB 3

EKSEKUTIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1950 : SIFAT DAN PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1950

Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Sementara 1950 yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 adalah parlementer. Hal ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 45 ayat1 UUDS 1950 “Presiden adalah kepala negara"

Pasal 83 ayat1 UUDS 1950 “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat"

Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950 "Menteri-menteri bertanggungjawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untukseluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri"

Pasal 84 UUDS 1950 “Presiden berhak membubarkan DPR keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu memenntahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari”

Bentuk negara Indonesia menurut Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 adalah kesatuan. Perubahan bentuk negara dari Federal menurut konstitusi RIS 1949 ke bentuk kesatuan ini dikarenakan bentuk negara federal ketika itu dianggap sebagai kreasi atau bentukan Belanda yang membuat wilayah Indonesia menjadi terpecah-pecah. Pada awal tahun 1950, Muhammad Natsir menyerukan Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian dinyatakan dalam usul "Mosi Integral Natsir".

Sistem parlemen yang dianut adalah sistem parlemen satu kamar (unikameral). Pada masa UUDS 1950 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan empat tahun. Pada masa berlakunya UUDS 1950, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR belum terselenggara, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat pun sifatnya masih sementara yang disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dengan jumlah anggota kira-kira 235 orang. DPR mempunyai kewenangan untuk membuat Undang Undang bersama dengan pemerintah. DPRS pada masa UUDS 1950 berjalan selama kurang lebih lima setengah tahun, terhitung sejak tanggal 6 Agustus 1950 sampai dengan 26 Maret 1956. Salah satu Undang Undang yang penting yang dihasilkan pada masa ini diantaranya adalah Undang Undang Nomor 07 tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstituante dan anggota-anggota DPR kemudian diselenggarakan pemilihan umum pertama kali untuk memilih wakil rakyat.

Pada masa Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut diberlakukan, gejolak politik yang panas menimbulkan berbagai gerakan yang politik yang tidak stabil, sehingga kabinet pemerintahanpun ikut kena imbasnya, tercatat pada periode 1950 hingga 1959 ada 7 kali pergantian kabinet, yaitu : 1950 – 1951 : Kabinet Natsir, 1951 – 1952 : Kabinet Sukiman Suwirjo, 1952 – 1953 : Kabinet WilDPD, 1953 – 1955 : Kabinet Ali Sastroamidjojo I, 1955 – 1956 : Kabinet Burhanuddin Harahap, 1956 – 1957 : Kabinet Ali Satroamidjojo II, 1957 – 1959 : Kabinet Djuanda.

Faktor yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal yakni pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.

sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.

Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).

Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.

Dewan Nasional merupakan amanat dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan ini mempunyai fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya terdiri dari golongan fungsional. Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, diantaranya adalah mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini membahas permasalahan-permasalahan pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian serta masalah Dwitunggal Soekarno Hatta. Musyawarah ini kemudian menghasilkan keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian.

BAB 4

EKSEKUTIF MENURUT KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945 : KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Munculnya Demokrasi Terpimpin di latar belakangi oleh kekacauan sistem pemerintahan dan kepartaian di era demokrasi liberal. Sistem kepartaian dalam demokrasi liberal tidak mampu mengatasi konflik politik di dalam tubuhnya sendiri. Soekarno melihat bahwa Demokrasi Liberal penuh dengan kekacauan yang menimbulkan banyak perpecahan di kehidupan masyarakat maupun dalam tatan kehidupan ekonomi. Sehingga Soekarno merasa harus turun tangan dan ikut turun ke politik praktis. Ditambah dengan terjadi keributan konstitusi Soekarno setuju untuk mengganti pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin ditandani dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme, yang –meminjam istilah Prof. Ismail Sunny- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Secara konsepsional demokrasi terpimpin memiliki kelebihan yang dapat  mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan Presiden Soekarno ketika memberikan amanat kepada konstituante tanggal 22 April 1959 tentang pokok-pokok demokrasi terpimpin antara lain. Demokrasi terpimpin bukanlah diktator. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang politik, ekonomi dan sosial. 

Pada Sidang Konstituante 1959, banyak kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru. Lembaga konstituante stuck di pembahasan mengenai ideologi Negara. Sehingga Soekarno mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Maka pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya, memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-undang Dasar Sementara 1950. Hal ini karena melihat keadaan yang membahayakan keadaan persatuan dan kesatuan negara.

Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan parlemen dengan alasan ketidak mampuan parlemen membuat keputusan menyebabkan terjadinya krisis politik. Sebagai gantinya, Presiden mengangkat anggota parlemen. Dengan pengangkatan anggota parlemen oleh Presiden, parlemen tidak lagi independen, melainkan tunduk dibawah pengaruh Presiden. Dibidang eksekutif, Presiden sekaligus Perdana Menteri. Presiden juga mengangkat Wakil Perdana Menteri. Dibidang yudikatif, Presiden mengangkat Ketua Mahkamah Agung. Presiden juga mengangkat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian kekuasaan memusat ditangan Presiden. Tidak ada lagi prinsip checks and balances dalam penyelenggaraan negara, padahal prinsip ini merupakan syarat dalam pemerintahan negara yang demokratis. Selain tidak demokratis, pembubaran parlemen merupakan pelanggaran Undang-Undang Dasar. Keadaan ini berlangsung sampai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno.

Kebijakan Politik Para Penguasa Indonesia

KOMPARASI KEBIJAKAN POLITIK PENGUASA-PENGUASA INDONESIA Latar Belakang Masalah Presiden secara umum merupakan istilah untuk seseorang yang m...