Kamis, 06 Mei 2021

Resume Buku: Pergeseran Kekuasaan Eksekutif

RESUME BUKU PERGESERAN KEKUASAAN EKSEKUTIF


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Politik 

yang dibimbing oleh : 

Abah Sodiq

Disusun oleh:


Alvin

Sultan

Rinta

Nawang

Al

Dinda



Identitas Buku 

Judul : Pergeseran Kekuasaan Eksekutif

Pengarang : Prof.Dr. Ismail Suny, S.H., M.CL.

Penerbit : Aksara Baru

Edisi / Cetakan : Cetakan tahun 1977

Jumlah Halaman : 256

Studi empiris terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan kewenangannya, belum banyak mendapatkan tempat yang semestinya di Indonesia. Padahal di satu sisi, kajian dengan tipikal ini akan sangat membantu perkembangan dunia hukum untuk bisa berkembang di Indonesia, khususnya terkait dengan MK. Lebih dari itu semua, keberadaan MK secara empiris dan normatif merupakan pembaharuan dalam sistem ketatanegaraan kita. Dengan logika yang demikian, maka ada perubahan yang terjadi. Menjadi menarik guna melihat berbagai perkembangan ini. Sejarah bangsa ini telah menjatuhkan pilihannya untuk membentuk MK. Dalam posisi ini sebenarnya kita melihat bagaimana para pembentuk UUD 1945 telah berpikir secara sosiologis dengan melihat masa depan perkembangan sistem ketatanegaraan. 

Perubahan UUD 1945 telah dikehendaki sejak tahun 1945, segera setelah dirancangnya UUD itu. la hanya berisi prinsip-prinsip umum serta menyerahkan pengaturan selanjutnya kepada perundang-undangan yang lebih rendah. Banyak hal-hal yang sangat penting mengenai pemerintahan yang tidak disuratkan ataupun tersirat dalam UUD 1945, bahkan hal-hal yang dicantum di dalamnya seringkali dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat berarti dua macam. Keadaan ini bukan saja dapat dimengerti, bahkan juga dapat dimanfaatkan, bila orang mengetahui dalam suasana apa pembuatan naskah Undang-Undang Dasar itu terjadi.

Dalam skala yang lebih luas, bahwa kewenangan dalam ranah ketatanegaraan di Indonesia memang sedang berubah. Fenomena yang terjadi berujung kepada pergeseran kekuasaan. Sejarah pernah membuktikan bahwa orde baru kental diwarnai oleh executive heavy, yang kemudian berubah pasca amandemen UUD 1945 menuju ke arah legislative heavy, maka kali ini perubahan itu muncul kembali. Jika secara ketat kita membagi kekuasaan negara dalam tiga organ penting, maka perubahan tentu akan merujuk kepada judicative heavy.

BAB 1

EKSEKUTIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 : SIFAT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Kejatuhan pemerintahan Soeharto membawa akibat yang luas terhadap kehidupan bangsa Indonesia dan sistem kenegaraan Indonesia. Kehidupan bangsa menjadi lebih demokratis. Demokratisasi juga menjangkau kehidupan politik dengan diubahnya seperangkat undang-undang yang menyangkut kegiatan politik sehingga kegiatan politik menjadi sangat bebas dan terbuka. Jumlah partai politik pun meningkat drastis. Perubahan lebih lanjut terjadi pada sistem ketatanegaraan dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945. Masa ini dikenal dengan masa reformasi. Selama 54 tahun sejak diberlakukannya pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah diubah. Undang-undang dasar ini sebenarnya mengamanatkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk membentuk undang-undang dasar yang baru dalam waktu 6 bulan sejak diberlakukannya undang-undang dasar ini karena UndangUndang Dasar 1945 dibuat dalam keadaan darurat Sebagai akibat dari keadaan darurat ini, UUD 1945 tidak dibuat secara terperinci. Pembuatannya pun dilakukan oleh panitia yang tidak dipilih melalui pemilihan umum. 

Namun MPR itu sendiri gagal dibentuk karena situasi darurat perang sebab setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu, Belanda mencoba merebut kembali wilayah jajahannya tetapi harus menghadapi perlawanan rakyat Indonesia. Selama keadaan darurat perang dan masa-masa sesudah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar 1950. Namun kedua undang-undang dasar ini pun bukanlah hasil keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

MPR barulah terbentuk melalui pemilihan umum 1955. Namun MPR gagal membentuk undang-undang dasar karena dalam proses pengambilan keputusannya selalu menemui jalan buntu (deadlock). Pada tahun 1959 Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959 menyatakan UUD 1945 berlaku kembali. Dimasa Orde Baru, MPR hasil pemilu 1971 tidak membuat undang-undang dasar baru. MPR bahkan mengukuhkan UUD 1945. Selama masa pemerintahan Soeharto, UUD 1945 tidak mengalami perubahan sarna sekali.

Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden, terjadi perubahan sistem politik yang diikuti pemilihan umum pada tahun 1999. MPR hasil pemilihan umum inilah yang mulai melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun 1999. Amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000 yang diikuti amandemen ketiga pada tahun 2001 dan amandemen keempat pada tahun 2002. Setelah amendemen keempat, UUD 1945 tidak lagi singkat tetapi terperinci. Meskipun masih terdiri 37 pasal namun pasal-pasal itu berkembang, misalnya pasal 28 menjadi pasal 28A, 28B, 28C dan seterusnya. Jumlah pasal sekarang menjadi 73 pasal. Amandemen ini mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan, kekuasaan presiden, kekuasaan parlemen dan lembaga peradilan.

Nampaknya Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang permanen. Pada saat didirikannya di tahun 1945, Indonesia adalah negara kesatuan. Akan tetapi kemudian berubah menjadi negara federasi, sebagai akibat dari perundingan panjang dengan Selanda. Susunan negara kemudian kembali menjadi negara kesatuan. Sentuk pemerintahan pun berubah. Pada awalnya presidensiil, namun kemudian berubah menjadi parlementer setelah pemilihan umum 1955 . Sentuk pemerintahan kembali menjadi presidensiil sete lah dekrit presiden tahun 1959. Sentuk presidensiil murni inipun ada yang meragukan karena dalam sistem ini terkandung ciri-c iri parle menter, seperti misalnya adanya' j abatan perdana menteri yang memiliki kekuasaan yang cukup besar.

Seperti telah disebutkan diatas, Indonesia dianggap menganut bentuk pemerintahan yang presidensiil. Alasannya ialah bahwa presiden mengangkat dan memberhentikan menteri serta memimpin eksekutif. Presiden pun memegang kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dengan membuat peraturan pemerintah dan keputusan presiden. 

Akan tetapi Sri Sumantri meragukan sistem Int merupakan bentuk pemerintahan presidensiil murni. Alasannya ialah bahwa dalam sistem ini terdapat karakteristik parlementer seperti yang terlihat dalam kekuasaan MPR yang mengangkat dan memberhentikan Presiden. Jadi sistem ini merupakan campuran dari presidensiil dan parlementer. Kombinasi karakteristik parlementer dan presidensiil juga terlihat dalam pertanggungjawaban tugas Presiden kepada MPR sebagai ciri parlementer dan pertanggungjawaban tugas menteri kepada Presiden sebagai ciri presidensiil. 

Oleh karena itu Azhary berpendapat sebaiknya sistem ini dinamai sistem MPR. Ada lima alasan yang mendukung argumentasinya. Pertama, MPR memegang kekuasaan negara tertinggi. Kedua, kegiatan kenegaraan berpusat di MPR. Ketiga, DPR yang merupakan badan legislatif menjadi bagian dari MPR yang menjalankan kedaulatan rakyat. Keempat, Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Kelima, MPR memegang kekuasaan untuk mengamandemen dan membuat undang-undang dasar serta Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan pedoman bagi pemerintah. 

MPR juga memegang kedaulatan rakyat. Supremasi MPR mencakup dua aspek, yakni kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi dan tiadanya lembaga negara yang menyamai kedudukannya. Kekuasaan MPR ini kemudian didelegasikan kepada: Presiden sebagai lembaga eksekutif; Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif; Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif; Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga inspektif; dan Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga konsultatif.

Walaupun MPR adalah le'mbaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, MPR tidak mengelola negara setiap hari. Selama peri ode 5 tahunan masa kerjanya, tugas MPR hanyalah mengangkat Presiden, membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan meminta pertanggungjawaban Presiden. Tugas harian pengawasan terhadap eksekutif dilakukan oleh DPR. Diakhir masajabatan Presiden, MPR menilai pertanggungjawaban Presiden dan menentukan apakah menerima atau menolaknya.

DPR adalah bagian dari MPR. Tugasnya adalah mengawasi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden. Disamping itu, tugas DPR adalah bersama dengan Presiden membuat undang-undang. Kedudukan DPR setara dengan Presiden. DPR tidak bisa memberhentikan Presiden. Demikian pula President tidak dapat membubarkan DPR. Dibidang keuangan, Presiden diawasi oleh DPR dan BPK. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan harusdisetujui oleh DPR. Pendapatan dan belanja negara diaudit oleh BPK. Untuk alasan ini kedudukan BPK tidak dibawah Presiden.

Pasca amandemen, sebagian kekuasaan MPR dilucuti. Kini MPR tidak lagi memegang kedaulatan rakyat. MPR tidak lagi mengangkat Presiden karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. Walaupun MPR masih memegang kekuasaan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya, proses pemberhentian Presiden harus melalui suatu prosedur panjang dan ketat yang harus melibatkan DPR dan

Mahkamah Konstitusi. Tanpa keterlibatan DPR dan Mahkamah Konstitusi, MPR tidak dapat memberhentikan Presiden. Garis-Garis Besar Haluan Negara ditiadakan. Tugas MPR sekarang hanyalah membuat dan mengamandemen undang-undang dasar. Tugas inipun tidak perlu dikerjakan apabila undang-undang dasar yang ada dinilai sudah memadai. Perlucutan sebagian kekuasaan MPR dengan sendirinya merubah sistem. Kini sistem ini tidak dapat lagi dinamai sistem MPR. Karakteristik parlementer juga tidak lagi ditemukan. Oleh karena itu sistem pemerintahan lebih tepat disebut presidensiil murni.

Lembaga negara baru terbentuk, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK). DPD mewakili kepentingan propinsi. Tidak seperti DPR, anggota DPD dipilih langsung diwilayah pemilihannya masing-masing. Anggota DPD tidak mewakili partai politik. Mereka mewakili kepentingan dan aspirasi daerah dan rakyat diwilayahnya masing-masing. Jumlah wakil tiap propinsi di DPD sarna meskipun jumlah penduduk di tiap propinsi berbeda. Kewenangan DPD lebih kecil dari kewenangan dPR dalam proses pembuatan undang-undang dan pengawasan pemerintllh. DPD hanya memiliki kewenangan dalam lima bidang, yaitu: otonomi daerah; hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan propinsi, kabupaten dan kota; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi; dan perimbangan keuangan pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. DPD terlibat dan aktif dalam proses pembentukan undang-undang yang menyangkut kel ima bidang terse but dan mengawasl penegakannya. Anggota DPD adalah anggota MPR.

Mahkamah Konstitusi memiliki lima tugas pokok. Pertama, MK memeriksa kasus peninjauan suatu undang-undang apakah suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kedua, MK mengadili dan memutus sengketa antar lembaga negara. Ketiga, MK mengadili dan memutus sengketa partai politik. Keempat, MK mengadili dan memutus sengketa hasil pemilihan umum. Kelima, MK memberikan pendapat hukum dalam proses pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian fungsi MK adalah sebagai penjaga Undang-Undang Dasar dan hakim bagi sengketa antar lembaga negara dan politik.


BAB 2

EKSEKUTIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1949 : KETENTUAN-KETENTUAN UNDANG-UNDANG DASAR 1949 DAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN ITU

Presiden dengan sah dapat bertindak sebagai dektator, karena bantuan Komite Nasional sama sekali dapat diartikan suatu pengekangan atas kekuasaannya. Oleh karena itu Presiden dapat menetapkan sendiri GBHN dan dapat menetapkan segala undang-undang. Namun dengan adanya maklumat Wakil Presiden No. X/1945 maka kekuasaan Presiden menjadi berkurang. AK. Prenggodigdo mengatakan bahwa : “Kekuasaan Presiden yang sampai kini dapat dikatakan dictator itu”, dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X-1945 itu berarti mengalami kemunduran. Sejak 16 Oktober 1945 Presiden harus membagi kekuasaan yang dipunyai nya berdasarkan pasa IV Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mengenai penetapan garis-garis besar dari  pasa haluan Negara ( dari Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan mengenai pembentukan Undang-Undang (dari Dewan Perwakilan Rakyat) dengan komite Nasional Pusat atau Badan Pekerja. Konvensi ketatanegaraan dikenal dalam praktik bernegara berdasarkan Penjelasan Umum UUD1945. Dewan Menteri atau Kabinet adalah suatu pemerintahan yang timbulnya berdasarkan konvensi ketatanegaraan. Meskipun kabinet merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang sesungguhnya, menteri-menteri itu tidak mempunya kedudukan hukum sebagai anggota kabinet dan tidak mempunyai keduduka hukum sebagai anggota kabinet dan dalam teori hukum (legal theory) mereka hanyalah “servant of the crown”, kepada siapa kekuasaan eksekutif dibebankan.

Stephen Leacock, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang mengenai pelaksnaan undang-undang. Dengan kata lain bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan Negara. Tugas utama dari eksekutif, tidak mempetimbangkan, tetapi melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi dalam Negara modern, urusan eksekutif adalah tidak semudah sebagai adanya pada masa-masa Yunani. Oleh karena beranekaragamnya tugas-tugas Negara, dirasa perlu menyerahkan urusan pemerintah dalam arti luas kepada tangan eksekutif dan tak dapat lagi dikatakan bahwa kekuasaan eksekutif hanya terdiri dari pelaksanaan undang-undang. Kekuasaan eksekutif menurut W.Ansley Wynes: sebagai kekuasaan dalam Negara yang melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan keamanan, baik di dalam maupun di luar negeri. Cabang kekuasaan eksekutif adalah yang memegang kewenangan administrasi Negara yang tertinggi. Dikatakan juga bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam suatu negara demokrasi,kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk undang-undang.

Kekuasaan pembentukan perundang-undangan berasal dari atribusi yang merupakan pemberian kewenangan kepada lembaga negara tertentu oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang, dan dari delegasi yang merupakan penyerahan kewenangan dari lembaga negara kepada lembaga negara lain. Dengan penyerahan kewenangan tersebut maka kewenangan dan tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan. Jadi, tidak semua lembaga memiliki kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan namun kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki lembaga negara saja melainkan dimiliki juga oleh lembaga pemerintah tertentu atas dasar delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan didasarkan kepada kebebasan bertindak yang bersifat mengikat secara umum dan muncul dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan yang tidak diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Jadi, mungkin saja lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk membentuk suatu peraturan, namun bukan peraturan perundang-undangan.

Lembaga negara yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan atas dasar atribusi kekuasaan dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:

MPR dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3);

Presiden dan DPR dalam membentuk Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) s/d ayat (5));

Presiden dalam membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22); dan

Pemerintahan Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah (Pasal 18 ayat (6).

Selain peraturan perundang-undangan di atas, Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU No. 12 Tahun 2011”), juga menambahkan 2 peraturan perundang-undangan atas dasar kewenangan atribusian, yaitu:

Ketetapan MPR

Peraturan Presiden

Selanjutnya Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur lembaga-lembaga (bukan hanya lembaga negara), yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan lainnya, sebagai berikut:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 selanjutnya mengatur bahwa:

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Peraturan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dengan syarat “sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan delegasian (atas dasar delegasi). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga tersebut dengan syarat “dibentuk berdasarkan kewenangan” dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan? Berdasarkan Pasal  8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, semua peraturan yang dibentuk lembaga negara atau bahkan lembaga/pejabat pemerintahan (seperti Menteri) yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) undang-undang tersebut, dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, walaupun hanya didasarkan atas kewenangan, yang belum tentu merupakan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan (atribusi atau delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan). Dasar Hukum: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


Kekuasaan Pembentukan Undang-Undang

Kekuasaan DPR dalam Pembentukan Undang-undang

Fungsi utama parlemen pada hakekatnya adalah fungsi pengawasan yang mengkomunikasikan tuntutan dan keluhan dari berbagai kalangan masyarakat kepada pihak pemerintah. Parlemen bertindak sebagai alat bagi masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial terhadap kekuasaan. Tetapi dalam perkembangannya saat ini, parlemen berubah menjadi alat dalam komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat melalui perdebatan terbuka yang melibatkan keahlian legislator. Sementara instrumen yang dapat digunakan oleh Parlemen untuk merealisasikan fungsi  pengawasan terhadap jalannya pemerintah secara efektif adalah:

Hak budget

Hak inteplasi

Hak angket

Hak usul resolusi

Hak konfirmasi atau hak memilih calon pejabat tertentu

Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban mengajukan rancangan Undang-undang, hak Amandemen atau hak untuk merubah setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Menurut Jimly Ashidigie: fungsi legislasi mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan Undang-undang. Selanjutnya menurut Bentham, tujuan legislasi atau kebijakan publik adalah untuk mempromosikan kebahagiaan terbesar  bagi sebanyak-banyaknya orang.

Kemudian, mengenai fungsi legislatif, parlemen mempunyai hak-hak seperti :

Hak Inisiatif,

Hak Amandemen

Dalam menghadapi rancangan undang-undang, setiap kamar lembaga parlemen dilengkapi dengan hak veto yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto berfungsi sebagai kontroler terhadap pelaksanaan fungsi legislatif, ini biasanya juga diberikan kepada Presiden, sehingga dalam sistem bicameral yang pemerintahannya bersifat presidential hak veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu presiden, majelis tinggi dan majelis rendah. Dalam sistem bicameral yang akan diperkenalkan di Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Melalui mekanisme hak veto itu proses Checks and Balance tidak saja terjadi di antara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.

Kekuasaan DPD dalam Pembentukan Undang-undang

DPD merupakan representasi wilayah Provinsi dimana setiap provinsi ditentukan anggota DPD sebanyak empat orang. DPD adalah individu-individu non-partisan yang akan menyuarakan suatu Propinsinya. Ini berarti, idealnya anggota DPD akan lebih independen dari pada anggota DPR. Dengan konsep ini diharapkan bisa terbentuk mekanisme checks and balance antara lembaga-lembaga negara secara lebih baik yang akan memperlihatkan perimbangan kekuasaan sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika Serikat.

Namun, konsep keseimbangan tersebut menjadi tidak seimbang ketika Undang-undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-undang Susduk) yang disahkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 31 Juli 2003 banyak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki oleh kamar pertama dalam sebuah sistem bicamarel. Pembatasan-pembatasan tersebut misalnya saja dapat dilihat dalam pasal 42 UU Susduk. Dalam pasal ini diatur bahwa DPD hanya memiliki fungsi yaitu :

Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan dengan bidang legislasi tertentu,

Pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.

Artinya, ketentuan dalam pasal tersebut sangat membatasi kewenangan  DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan Undang-undang, ia hanya dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan pertimbangan tanpa diminta kewenangan untuk mengambil keputusan. Selain itu, kewenangan yang dimilikinya pun hanya terhadap Undang–undang tertentu saja yaitu Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan pengembangan  daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta Undang-undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam Pasal  (46) yang ayat ( 1) tata tertib DPD menyebutkan tugas Panitia Perancang Undang-Undang adalah : merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan, usul pembentukan rancangan Undang-undang dan usul rancangan Undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggota DPD dan setiap anggaran.

Implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden, yang dapat dilihat sebagai berikut.

DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan 1) Otonomi daerah, 2) Hubungan pusat dan daerah, 3) Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan 5) Perimbangan keunangan pusat dan daerah (Pasal 22 D Ayat (1) UUD1945).

DPD ikut membahas sejumlah rancangan Undang-undang yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, (Pasal 22 D Ayat (2) UUD1945).

DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang pada kegiatan kedua di atas, dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22 D Ayat (3) UUD1945). Selain itu, anggota DPD diperhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya  di atur  dalam Undang-Undang (Pasal 22 D Ayat (4) UUD1945). Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.

Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber dibawah DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD adalah subordinat dari Parpol yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hirarki dan oligopoli. Sekalipun begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (pasal 3 ayat (1) UUD1945). DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu dan mewakili unit kedaerahan, yaitu Propinsi.

Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Undang-undang

Sebelum perubahan UUD1945, Presiden merupakan lembaga yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan sesudah perubahan UUD1945, Presiden masih pula dilibatkan seperti hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, pembahasan yang dilakukan secara bersama dengan DPR terhadap RUU dan pengesahan RUU menjadi undang-undang yang juga dilakukan oleh Presiden.

Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. 

Jadi kesimpulannya adalah, lembaga pembentuk undang-undang adalah lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD). Lembaga yang mengesahkan undang-undang bentukan lembaga legislatif adalah lembaga eksekutif (Presiden)

BAB 3

EKSEKUTIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1950 : SIFAT DAN PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG DASAR 1950

Masa republik ketiga adalah periode diberlakukannya konstitusi sementara yang kelak kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Sementara 1950 yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 adalah parlementer. Hal ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 45 ayat1 UUDS 1950 “Presiden adalah kepala negara"

Pasal 83 ayat1 UUDS 1950 “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat"

Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950 "Menteri-menteri bertanggungjawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untukseluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri"

Pasal 84 UUDS 1950 “Presiden berhak membubarkan DPR keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu memenntahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari”

Bentuk negara Indonesia menurut Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 adalah kesatuan. Perubahan bentuk negara dari Federal menurut konstitusi RIS 1949 ke bentuk kesatuan ini dikarenakan bentuk negara federal ketika itu dianggap sebagai kreasi atau bentukan Belanda yang membuat wilayah Indonesia menjadi terpecah-pecah. Pada awal tahun 1950, Muhammad Natsir menyerukan Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian dinyatakan dalam usul "Mosi Integral Natsir".

Sistem parlemen yang dianut adalah sistem parlemen satu kamar (unikameral). Pada masa UUDS 1950 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan empat tahun. Pada masa berlakunya UUDS 1950, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR belum terselenggara, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat pun sifatnya masih sementara yang disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dengan jumlah anggota kira-kira 235 orang. DPR mempunyai kewenangan untuk membuat Undang Undang bersama dengan pemerintah. DPRS pada masa UUDS 1950 berjalan selama kurang lebih lima setengah tahun, terhitung sejak tanggal 6 Agustus 1950 sampai dengan 26 Maret 1956. Salah satu Undang Undang yang penting yang dihasilkan pada masa ini diantaranya adalah Undang Undang Nomor 07 tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstituante dan anggota-anggota DPR kemudian diselenggarakan pemilihan umum pertama kali untuk memilih wakil rakyat.

Pada masa Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut diberlakukan, gejolak politik yang panas menimbulkan berbagai gerakan yang politik yang tidak stabil, sehingga kabinet pemerintahanpun ikut kena imbasnya, tercatat pada periode 1950 hingga 1959 ada 7 kali pergantian kabinet, yaitu : 1950 – 1951 : Kabinet Natsir, 1951 – 1952 : Kabinet Sukiman Suwirjo, 1952 – 1953 : Kabinet WilDPD, 1953 – 1955 : Kabinet Ali Sastroamidjojo I, 1955 – 1956 : Kabinet Burhanuddin Harahap, 1956 – 1957 : Kabinet Ali Satroamidjojo II, 1957 – 1959 : Kabinet Djuanda.

Faktor yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal yakni pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara lain sebagai berikut.

sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.

Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).

Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.

Dewan Nasional merupakan amanat dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan ini mempunyai fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya terdiri dari golongan fungsional. Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, diantaranya adalah mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini membahas permasalahan-permasalahan pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian serta masalah Dwitunggal Soekarno Hatta. Musyawarah ini kemudian menghasilkan keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian.

BAB 4

EKSEKUTIF MENURUT KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945 : KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Munculnya Demokrasi Terpimpin di latar belakangi oleh kekacauan sistem pemerintahan dan kepartaian di era demokrasi liberal. Sistem kepartaian dalam demokrasi liberal tidak mampu mengatasi konflik politik di dalam tubuhnya sendiri. Soekarno melihat bahwa Demokrasi Liberal penuh dengan kekacauan yang menimbulkan banyak perpecahan di kehidupan masyarakat maupun dalam tatan kehidupan ekonomi. Sehingga Soekarno merasa harus turun tangan dan ikut turun ke politik praktis. Ditambah dengan terjadi keributan konstitusi Soekarno setuju untuk mengganti pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin ditandani dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme, yang –meminjam istilah Prof. Ismail Sunny- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Secara konsepsional demokrasi terpimpin memiliki kelebihan yang dapat  mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan Presiden Soekarno ketika memberikan amanat kepada konstituante tanggal 22 April 1959 tentang pokok-pokok demokrasi terpimpin antara lain. Demokrasi terpimpin bukanlah diktator. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang politik, ekonomi dan sosial. 

Pada Sidang Konstituante 1959, banyak kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru. Lembaga konstituante stuck di pembahasan mengenai ideologi Negara. Sehingga Soekarno mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Maka pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya, memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-undang Dasar Sementara 1950. Hal ini karena melihat keadaan yang membahayakan keadaan persatuan dan kesatuan negara.

Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan parlemen dengan alasan ketidak mampuan parlemen membuat keputusan menyebabkan terjadinya krisis politik. Sebagai gantinya, Presiden mengangkat anggota parlemen. Dengan pengangkatan anggota parlemen oleh Presiden, parlemen tidak lagi independen, melainkan tunduk dibawah pengaruh Presiden. Dibidang eksekutif, Presiden sekaligus Perdana Menteri. Presiden juga mengangkat Wakil Perdana Menteri. Dibidang yudikatif, Presiden mengangkat Ketua Mahkamah Agung. Presiden juga mengangkat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian kekuasaan memusat ditangan Presiden. Tidak ada lagi prinsip checks and balances dalam penyelenggaraan negara, padahal prinsip ini merupakan syarat dalam pemerintahan negara yang demokratis. Selain tidak demokratis, pembubaran parlemen merupakan pelanggaran Undang-Undang Dasar. Keadaan ini berlangsung sampai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kebijakan Politik Para Penguasa Indonesia

KOMPARASI KEBIJAKAN POLITIK PENGUASA-PENGUASA INDONESIA Latar Belakang Masalah Presiden secara umum merupakan istilah untuk seseorang yang m...