Halaman

Senin, 23 September 2019

Guna Sejarah dalam Tata Pemerintahan Mataram



Menurut cerita tutur Jawa, setelah perkawinannya dengan Ratu Pandan Sari, Pangeran Pekik diberangkatkan ke Giri untuk melawan pemuka ulama (Babad BP, jil. IX, hlm. 62-66; Serat Kandha, hlm. 840-848; Meinsma Babad, hlm. 138-139). Diceritakan sebagai berikut.

Pada suatu ketika Raja sedang sakit memanggil adiknya, Ratu Pandan Sari. Rupanya sakitnya Raja bersifat psikis. Ia jengkel Pendeta Giri, satu-satunya penguasa tanah Jawa yang belum tunduk kepadanya dan berkeras kepala. Karena itu, Pangeran Pekik, suaminya, harus menumpas Giri, sebab ia juga keturunan seorang pandita (Meinsma, Babad, hlm. 139). Sebelumnya, tak seorangpun dari pembesar kerajaan berani memaksa Panembahan Giri untuk tunduk dan taat melalui jalur kekerasan karena takut akan malapetaka dan juga takut akan balasan amarah Tuhan. Karena menurut Babad BP (jil. IX, hlm. 63) nenek moyang laki-laki pemuka ulama dari Giri pernah berguru pada Raden Rachmad dari Ngampel Denta . Yang berani memaksa penenbahan spiritual ini dengan kekerasan hanyalah Pangeran Pekik yang juga keturunan Sunan Ampel. Pangeran Pekik tanpa ragu menyetujui usul Raja yang disampaikan oleh istrinya, Ratu Pandan Sari. Mereka kemudian memohon ijin kepada Raja untuk berangkat, kemudian diijinkan dengan Ratu Pandan Sari harus ikut serta untuk mengganti kalau-kalau Pangeran Pekik gugur. Mereka mendapat uang jalan 10.000 rial, emas, perak, bahan-bahan sutera halus dan bahan takstil lainnya. Keduanya meminta ijin Raja sambil mencium kakinya, dan Raja mendoakan kemenangan. Setelah Pangeran Pekik memberi brifing, dengan semangat yang menyala 150.000  orang Surabaya (Serat Kendha, hlm. 847) meninggalkan Mataram. Di Surabaya, Pangeran Pekik meminta pembesarnya mengumpulkan 10.000 orang bersenjata untuk bergerak ke Giri. Selama persiapan perjalanan peranan Ratu Pandan Sari menonjol, pertanda akan hal yang kemudian memang diperlihatkan oleh sang Ratu. Selanjutnya, mungkin kesaktian Pendeta Giri mencegah Raja Mataram menaklukkannya, sebagaimana dilakukannya terhadap hampir semua raja di tanah Jawa. Tadi telah dikatakan bahwa yang dituju memang kehancuran Giri, tetapi Sang Pemuka Agama tetap berkeras kepala. Oleh karena itu, kesedihan hati Raja dapat dimaklumi. Untuk mengatasi rintangan batin itu, ia membutuhkan seseorang yang paling tidak menyamai kewibawaan spiritual pemuka ulama Giri. Hanya orang seperti itulah yang dapat menandingi sang pemuka ulama. Oleh karena itu, Raja mencari seorang tokoh, yang ia perhitungkan dapat ditemukan dalam diri Pangeran Pekik yang. Karena menurut cerita-cerita dalam babad nenek moyang Pemuka ulama Giri adalah murid nenek moyang Pangeran Pekik dari Surabaya, kekuatan spiritual Pangeran Pekik dengan sendirinya lebih besar daripada kekuatan spiritual pandeta Giri. Untuk logistic Raja Mataramlah yang akan mengurusnya. Pandita Giri “buyut Sunan Giri yang terdahulu” (Serat Kandha, hlm. 484), sudah terlebih dahulu mengetahui akan adanya serangan, kemudian memerintahkan keluarganya, pejabat masjid dan para santrinya untuk bersiap-siap. Ia mengharapkan bantuan anak angkatnya yang merupakan seorang Cina Islam bernama Endrasena yang membawa 250 orang penembak jitu dan tembakan mereka yang selalu tepat akan menyulitkan Mataram. Pertempuran pertama sangat menyulitkan Mataram  sehingga mereka patah semangat dan mundur. Mendengar hal ini, Ratu Pandan Sari ikut berunding dan terdorong mengeluarkan pendapat bahkan ingin ikut berperang. Atas desakannya yang keras, akhirnya Pangeran Pekik mengijinkannya. Esok harinya pertempuran pecah lagi (Serat Kandha, hlm. 855-858) dengan serangan yang dilancarkan dari dua sudut, dari tenggara dan barat daya. 500 prajurit dalam jumlah yang sama memancing Endrasena bersama pengikutnya untuk turun dari Gunung Giri ke arah barat daya dan menyibukkan mereka disitu. Kemudian Ratu Pandan Sari melepaskan tiga tembakan meriam, dan pada waktu itulah sisa pasukan menyerang Endasena dari arah tenggara dan menghancurkannya. Endrasena kemudian dipancung. Panembahan Giri melarikan diri ke rumahnya, dan disini ia memberi perintah mengenai cara menghadapi pasukan Mataram. Setelah itu ia melarikan diri ke makam ayahnya dan bersembunyi disitu. Setelah pertempuran, Pangeran Pekik dan Ratu Pandan Sari mendaki bukit (Babad BP, jil. IX, hlm. 75) dan bertemu dengan istri-istri pandita yang mengeluh dan menangis. Pangeran Surabaya memerintahkan pandita untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan berangkat ke Mataram. Lima hari kemudian mereka sampai di Surabaya dan melanjutkan perjalanan. Prajurit Surabaya, yang begitu sengit karena pemberontakan Giri yang begitu lama sebenarnya ingin membunuh pandita. Namun Pangeran Pekik tidak menyetujuinya. Sampai di mataram, hasil rampasan diberikan kepada Raja, tetapi  raja menolak dan memberikannya kepada Pangeran Pekik untuk seterusnya diperkenankan menguasai Giri. Yang menarik dari penaklukan Giri ialah kehadiran penembak jitu yang merupakan orang Cina dan dipimpin orang Cina juga namun namaya tidak identik dengan Cina yaitu Endrasena. Dalam hal ini menunjukkan bahwa penganut agama Islam yang pertama di Jawa sebagian tersebar di kalangan para pedagang China (Krom, Greschiedenis, cet. I, hlm. 440-441). Mereka tersebar tanah Jawa terutama di Gresik, Tuban dan Surabaya. Karena tempat yang pertama terkenal sebagai kota dagang maka kehadiran orang Cina disana tidak perlu dipertanyakan. Hampir seluruh perdagangan di kuasai pendatang yang berasal dari china sehingga dikalangan kerajaan mengikuti sistem berdagang salah satunya Ratu Pandan Sari. Peranan Ratu Pandan Sari yang sangat menetukan agaknya boleh dipercaya mengingat wanita Jawa memang berperan di bidang perdagangan dan sering juga di bidang politik. Dalam episode berikut wanita yang penuh semangat ini sekali lagi memikul tanggung jawab yang berat (Meinsma, Babad, hlm. 158). Mustahil Raja mempunyai waktu dan perhatian untuk melancarkan ekspedisi ke arah yang sama sekali berlainan. Selain itu juga sulit masuk akal jika penaklukan terhadap dan perdamaian dengan Pangeran Pekik. Begitu pula perkawinannya dengan Ratu Pandan Sari dalam kurun waktu yang pendek (tiga tahun, yaitu 1625-1628). Penaklukan Giri terjadi diantara pemberotakan Pati dan pengepungan Batavia (1628-1629). Dalam waktu yang bersamaan tentang pengepungan Batavia mengalami perubahan yang sedemikian mendasar sehingga mungkin menyimpang dari kronlogi. Kisah penaklukan Giri terdapat dalam Babat Sangkala maupun Babat Sangkalaning Momana yang lebih muda. Keduanya menyebut tahun Jawa yang sama yaitu 1557, yang dimulai pada 17 Juni 1635 dan berakhir pada 5 Juni 1636. Daftar tarikh pertama tercatat: Sabedahing Giri Esti, tahun Djimawal 1557. Pada penaklukan Giri Gajah, tahun Djimawal 1557. Gajah ini telah disebut oleh Valentijn (Out en Nieuw, jil IV, hlm.120). Berikut legenda yang bersangkutan. Daftar tarikh yang lebih muda mencatat angka 1557 , tahun Djimawal, perang Giri: Senapati: Pangeran Pekik.
Tahun 1635-1636 ini dibenarkan oleh beberapa hal:
1.      Tahun ini mengenai perpindahan Pangeran Pekik dari Surabaya ke Mataram, menyerahnya dia kepada Raja, dan perkawinannya dengan adik Raja.
2.      Daghregister (14 dan 16 Juni 1636), memberitakan perjalanan Raja Surabaya ke Mataram dengan kekuatan besar terdiri dari 100 tingang (tongkang). Perjalannya ke Semarang melalui laut setelah memenangkan atas Giri. Sebagian dari pengikut Pangeran Pekik memilih jalan darat.
3.      Beberapa sumber menunjukkan bahwa masyarakat Giri dan pemimpinnya, pemuka ulama, masih berperan penting sebelum 1636.
Rumphius (“Historie”) menceritakan bagaimana pada awal 1629 datang sebuah kapal Jawa di Hitu. Awak kapal mencerikan bahwa mereka membawa utusan dari Raja  Bukit atau Giri untuk menjalin kembali persahabatan lama. Karena mengira pedagang rempah, orang Belanda menahan mereka.ini menimbulkan pertengkaran hebat: seorang pemuka ulama yang dihina atau diasingkan tidak mungkin akan mengirim seorang utusan dengan kapal yang demikian. Pada 1634 Belanda merampas lagi sebuah kapal Jawa “yang datang dari Raja Bukit untuk menyambut Hitu dan untuk mengembalikan anak laki-laki dari marinko (utusan) mereka yang selama tiga tahun mempelajari hukum islam di tanah Jawa”    (Rumphius,” historie”, jil.I hlm 67 dan 110). Jadi, anak muda  itu rupanya dapat belajar tanpa gangguan dari 1631-1634. Sukar dibayangkan jika masa belajar itu berlangsung pada masa perang, penaklukan Giri, dan dibawanya pemuka ulama ke Mataram. Ini juga memperkuat pendapat yang menetapkan kejadian-kejadian perang pada kurun waktu yang lebih belakang, sebagaimana dilakukan oleh babad-babad tarikh tadi.



Maaf, untuk yang ini saya lupa sumbernya karena ini tugas lama jadi tidak saya cantumkan sumber referensinya. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar