Menurut
cerita tutur Jawa, setelah perkawinannya dengan Ratu Pandan Sari, Pangeran
Pekik diberangkatkan ke Giri untuk melawan pemuka ulama (Babad BP, jil. IX, hlm. 62-66; Serat
Kandha, hlm. 840-848; Meinsma Babad,
hlm. 138-139). Diceritakan sebagai berikut.
Pada
suatu ketika Raja sedang sakit memanggil adiknya, Ratu Pandan Sari. Rupanya
sakitnya Raja bersifat psikis. Ia jengkel Pendeta Giri, satu-satunya penguasa
tanah Jawa yang belum tunduk kepadanya dan berkeras kepala. Karena itu,
Pangeran Pekik, suaminya, harus menumpas Giri, sebab ia juga keturunan seorang
pandita (Meinsma, Babad, hlm. 139). Sebelumnya,
tak seorangpun dari pembesar kerajaan berani memaksa Panembahan Giri untuk
tunduk dan taat melalui jalur kekerasan karena takut akan malapetaka dan juga
takut akan balasan amarah Tuhan. Karena menurut Babad BP (jil. IX, hlm. 63) nenek moyang laki-laki pemuka ulama
dari Giri pernah berguru pada Raden Rachmad dari Ngampel Denta . Yang berani memaksa
penenbahan spiritual ini dengan kekerasan hanyalah Pangeran Pekik yang juga
keturunan Sunan Ampel. Pangeran Pekik tanpa ragu menyetujui usul Raja yang
disampaikan oleh istrinya, Ratu Pandan Sari. Mereka kemudian memohon ijin
kepada Raja untuk berangkat, kemudian diijinkan dengan Ratu Pandan Sari harus
ikut serta untuk mengganti kalau-kalau Pangeran Pekik gugur. Mereka mendapat
uang jalan 10.000 rial, emas, perak, bahan-bahan sutera halus dan bahan takstil
lainnya. Keduanya meminta ijin Raja sambil mencium kakinya, dan Raja mendoakan
kemenangan. Setelah Pangeran Pekik memberi brifing, dengan semangat yang
menyala 150.000 orang Surabaya (Serat Kendha, hlm. 847) meninggalkan
Mataram. Di Surabaya, Pangeran Pekik meminta pembesarnya mengumpulkan 10.000
orang bersenjata untuk bergerak ke Giri. Selama persiapan perjalanan peranan
Ratu Pandan Sari menonjol, pertanda akan hal yang kemudian memang diperlihatkan
oleh sang Ratu. Selanjutnya, mungkin kesaktian Pendeta Giri mencegah Raja
Mataram menaklukkannya, sebagaimana dilakukannya terhadap hampir semua raja di
tanah Jawa. Tadi telah dikatakan bahwa yang dituju memang kehancuran Giri,
tetapi Sang Pemuka Agama tetap berkeras kepala. Oleh karena itu, kesedihan hati
Raja dapat dimaklumi. Untuk mengatasi rintangan batin itu, ia membutuhkan
seseorang yang paling tidak menyamai kewibawaan spiritual pemuka ulama Giri.
Hanya orang seperti itulah yang dapat menandingi sang pemuka ulama. Oleh karena
itu, Raja mencari seorang tokoh, yang ia perhitungkan dapat ditemukan dalam
diri Pangeran Pekik yang. Karena menurut cerita-cerita dalam babad nenek moyang
Pemuka ulama Giri adalah murid nenek moyang Pangeran Pekik dari Surabaya,
kekuatan spiritual Pangeran Pekik dengan sendirinya lebih besar daripada
kekuatan spiritual pandeta Giri. Untuk logistic Raja Mataramlah yang akan
mengurusnya. Pandita Giri “buyut Sunan Giri yang terdahulu” (Serat Kandha, hlm. 484), sudah terlebih
dahulu mengetahui akan adanya serangan, kemudian memerintahkan keluarganya,
pejabat masjid dan para santrinya untuk bersiap-siap. Ia mengharapkan bantuan
anak angkatnya yang merupakan seorang Cina Islam bernama Endrasena yang membawa
250 orang penembak jitu dan tembakan mereka yang selalu tepat akan menyulitkan
Mataram. Pertempuran pertama sangat menyulitkan Mataram sehingga mereka patah semangat dan mundur.
Mendengar hal ini, Ratu Pandan Sari ikut berunding dan terdorong mengeluarkan
pendapat bahkan ingin ikut berperang. Atas desakannya yang keras, akhirnya
Pangeran Pekik mengijinkannya. Esok harinya pertempuran pecah lagi (Serat Kandha, hlm. 855-858) dengan
serangan yang dilancarkan dari dua sudut, dari tenggara dan barat daya. 500
prajurit dalam jumlah yang sama memancing Endrasena bersama pengikutnya untuk
turun dari Gunung Giri ke arah barat daya dan menyibukkan mereka disitu.
Kemudian Ratu Pandan Sari melepaskan tiga tembakan meriam, dan pada waktu
itulah sisa pasukan menyerang Endasena dari arah tenggara dan menghancurkannya.
Endrasena kemudian dipancung. Panembahan Giri melarikan diri ke rumahnya, dan
disini ia memberi perintah mengenai cara menghadapi pasukan Mataram. Setelah
itu ia melarikan diri ke makam ayahnya dan bersembunyi disitu. Setelah
pertempuran, Pangeran Pekik dan Ratu Pandan Sari mendaki bukit (Babad BP, jil. IX, hlm. 75) dan bertemu
dengan istri-istri pandita yang mengeluh dan menangis. Pangeran Surabaya
memerintahkan pandita untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan berangkat
ke Mataram. Lima hari kemudian mereka sampai di Surabaya dan melanjutkan perjalanan.
Prajurit Surabaya, yang begitu sengit karena pemberontakan Giri yang begitu
lama sebenarnya ingin membunuh pandita. Namun Pangeran Pekik tidak
menyetujuinya. Sampai di mataram, hasil rampasan diberikan kepada Raja,
tetapi raja menolak dan memberikannya
kepada Pangeran Pekik untuk seterusnya diperkenankan menguasai Giri. Yang
menarik dari penaklukan Giri ialah kehadiran penembak jitu yang merupakan orang
Cina dan dipimpin orang Cina juga namun namaya tidak identik dengan Cina yaitu
Endrasena. Dalam hal ini menunjukkan
bahwa penganut agama Islam yang pertama di Jawa sebagian tersebar di kalangan
para pedagang China (Krom, Greschiedenis,
cet. I, hlm. 440-441). Mereka tersebar tanah Jawa terutama di Gresik, Tuban dan
Surabaya. Karena tempat yang pertama terkenal sebagai kota dagang maka
kehadiran orang Cina disana tidak perlu dipertanyakan. Hampir seluruh perdagangan di kuasai pendatang yang berasal dari
china sehingga dikalangan kerajaan mengikuti sistem berdagang salah satunya
Ratu Pandan Sari. Peranan Ratu Pandan Sari yang sangat menetukan agaknya boleh
dipercaya mengingat wanita Jawa memang berperan di bidang perdagangan dan
sering juga di bidang politik. Dalam episode berikut wanita yang penuh semangat
ini sekali lagi memikul tanggung jawab yang berat (Meinsma, Babad, hlm. 158). Mustahil Raja mempunyai waktu dan
perhatian untuk melancarkan ekspedisi ke arah yang sama sekali berlainan.
Selain itu juga sulit masuk akal jika penaklukan terhadap dan perdamaian dengan
Pangeran Pekik. Begitu pula perkawinannya dengan Ratu Pandan Sari dalam kurun
waktu yang pendek (tiga tahun, yaitu 1625-1628). Penaklukan Giri terjadi
diantara pemberotakan Pati dan pengepungan Batavia (1628-1629). Dalam waktu
yang bersamaan tentang pengepungan Batavia mengalami perubahan yang sedemikian
mendasar sehingga mungkin menyimpang dari kronlogi. Kisah penaklukan Giri
terdapat dalam Babat Sangkala maupun Babat Sangkalaning Momana yang lebih
muda. Keduanya menyebut tahun Jawa yang sama yaitu 1557, yang dimulai pada 17
Juni 1635 dan berakhir pada 5 Juni 1636. Daftar tarikh pertama tercatat: Sabedahing Giri Esti, tahun Djimawal
1557. Pada penaklukan Giri Gajah, tahun Djimawal 1557. Gajah ini telah disebut
oleh Valentijn (Out en Nieuw, jil IV, hlm.120). Berikut legenda yang
bersangkutan. Daftar tarikh yang lebih muda mencatat angka 1557 , tahun
Djimawal, perang Giri: Senapati: Pangeran Pekik.
Tahun
1635-1636 ini dibenarkan oleh beberapa hal:
1. Tahun
ini mengenai perpindahan Pangeran Pekik dari Surabaya ke Mataram, menyerahnya
dia kepada Raja, dan perkawinannya dengan adik Raja.
2. Daghregister
(14 dan 16 Juni 1636), memberitakan perjalanan Raja Surabaya ke Mataram dengan
kekuatan besar terdiri dari 100 tingang (tongkang). Perjalannya ke Semarang
melalui laut setelah memenangkan atas Giri. Sebagian dari pengikut Pangeran
Pekik memilih jalan darat.
3. Beberapa
sumber menunjukkan bahwa masyarakat Giri dan pemimpinnya, pemuka ulama, masih
berperan penting sebelum 1636.
Rumphius
(“Historie”) menceritakan bagaimana pada awal 1629 datang sebuah kapal Jawa di
Hitu. Awak kapal mencerikan bahwa mereka membawa utusan dari Raja Bukit atau Giri untuk menjalin kembali
persahabatan lama. Karena mengira pedagang rempah, orang Belanda menahan
mereka.ini menimbulkan pertengkaran hebat: seorang pemuka ulama yang dihina
atau diasingkan tidak mungkin akan mengirim seorang utusan dengan kapal yang
demikian. Pada 1634 Belanda merampas lagi sebuah kapal Jawa “yang datang dari Raja
Bukit untuk menyambut Hitu dan untuk mengembalikan anak laki-laki dari marinko (utusan) mereka yang selama tiga
tahun mempelajari hukum islam di tanah Jawa” (Rumphius,”
historie”, jil.I hlm 67 dan 110). Jadi, anak muda itu rupanya dapat belajar tanpa gangguan dari
1631-1634. Sukar dibayangkan jika masa belajar itu berlangsung pada masa
perang, penaklukan Giri, dan dibawanya pemuka ulama ke Mataram. Ini juga
memperkuat pendapat yang menetapkan kejadian-kejadian perang pada kurun waktu
yang lebih belakang, sebagaimana dilakukan oleh babad-babad tarikh tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar